7 Perbedaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
Pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia ada pada Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya memiliki cakupan yang berbeda. Oleh sebab itu, menarik membahas perbedaan MA dan MK.
Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2009), MA DAN MK merupakan pelaku kekausaan kehakiman. Artinya, keduanya menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Terdapat perbedaan antara MA dan MK yang wajib dipahami sebagai warga negara. Untuk mengetahui perbedaannya, simak ulasan berikut.
Perbedaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
MA dan MK diatur pada UU No. 48/2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU No. 14/1985) juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU No. 3/2009), dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24/2003) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 7/2020).
Pengaturan tersebut mencakup kekuasaan kehakiman, hakim, sumpah, pemberhentian, tugas dan kewenangan, dan lain sebagainya. Berikut ini perbedaan MA dan MK selengkapnya.
1. Pelaku Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
Perbedaan MA dan MK yang pertama adalah berkaitan dengan pelaku kekuasaan kehakimannya. Hakim yang berada pada lingkungan MA serta badan peradilan di bawahnya disebut dengan Hakim Agung. Sementara itu, Hakim Konstitusi merupakan hakim pada Mahkamah Konstitusi.
2. Cabang Kekuasaan Kehakiman
Perbedaan MA dan MK yang kedua yakni terkait cabang kekuasaan kehakiman. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, MA membawahi badan peradilan di Indonesia.
Badan peradilan di bawahnya yakni di lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan pengadilan khusus. Pengadilan khusus yakni pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, memutus perkara tertentu.
Sementara itu, MK tidak mendistribusikan kewenangannya ke lembaga lain. Pasalnya, MK tidak memiliki cabang kekuasaan kehakiman dan hanya ada di Ibu Kota Negara.
3. Jumlah Hakim MA dan MK
Hakim MA berjumlah maksimal 60 orang. Sementara itu, MK memiliki 9 orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Kesembilan orang tersebut , antara lain seorang merangkap Ketua dan anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan tujuh orang anggota hakim konstitusi. Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih untuk masa jabatan 5 tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak 1 kali.
4. Kewenangan Terhadap Putusan Bagi MA dan MK
Perbedaan MA dan MK berikutnya yakni terkait kewenangan terhadap putusan. MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di seluruh lingkungan peradilan. Hal ini dapat berlaku lain jika undang-undang menentukan lain.
MA juga berwenang memeriksa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap jika diajukan peninjauan kembali oleh pihak yang bersangkutan. MA juga berwenang melakukan hal lain yang ditentukan pada undang-undang.
Sedangkan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Selain itu, MK juga berwenang memutus pembubaran partai politik. Selain itu, MA mampu memberi keterangan, pertimbangan, maupun nasihat masalah hukum ke lembaga negara serta lembaga pemerintahan. MK juga memiliki kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.
5. Perkara yang Ditangani
Perbedaan MA dan MK berikutnya yakni terkait kasus yang ditangani. MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Hal ini selaras dengan hierarki peraturan perundang-undangan.
Sedangkan perkara yang diuji MK yakni undang-undang terhadap UUD NRI 1945, sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945.
MK wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum tersebut berupa pengkhianatan terhadap negara, penyuapan, korupsi, dan tindak pidana berat lainnya.
6. Sifat Putusan
Putusan MK langsung bersifat final atau langsung berkekuatan hukum tetap. Artinya tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final itu adalah kekuatan hukum yang mengikat yakni final dan binding.
Sifat putusan MA juga final tetapi dapat diajukan upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali. Peninjauan kembali itu dilakukan terhadap putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
7. Pemilihan Hakim
Hakim Agung ditetapkan oleh Presiden dari nama calon yang diajukan DPR. DPR mengusungnya dari nama calon yang diusulkan Komisi Yudisial (KY).
KY yang akan melakukan pendaftaran calon, melakukan seleksi, penetapan calon, dan ajukan calon Hakim Agung ke DPR. Ketua dan Wakil Ketua MA dipilih dari dan oleh Hakim Agung yang kemudian ditetapkan oleh Presiden.
Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh MA, 3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Presiden. Prosesnya dilaksanakan secara transparan dan partisipatif serta objektif dan akuntabel.
Itulah penjelasan mengenai perbedaan MA dan MK. Perbedaan tersebut mencakup hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, jumlah hakim, kewenangan, perkara yang ditangani, dan pemilihan hakim.