Anggota Komisi VII DPR Muhammad Nasir mengatakan, ada pengusaha nakal yang disebutnya ratu batu bara bernama Tan Paulin. Namun Tan membantah tudingan ini.
Pengusaha batu bara yang beroperasi di Kalimantan Timur itu membantah pandangan dan pendapat yang mengatakan bahwa perusahaannya melanggar aturan. Ia menuding pihak yang menyatakan demikian, sengaja melakukan pencemaran nama baik.
“Semua tuduhan miring kepada klien kami Ibu Tan Paulin adalah tidak benar. Sama sekali tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta-fakta hukum yang sebenar-benarnya,” kata Kuasa Hukum Tan Paulin Yudistira dalam keterangan resmi yang diterima Katadata.co.id, Minggu (16/1).
Ia membantah bahwa kliennya merusak infrastruktur dan prasarana ekspor di sekitar area pertambangan di Kaltim.
Yudistira menyatakan telah berkonsultasi dengan beberapa pakar hukum ihwal pernyataan Muhammad Nasir. “Pernyataannya dapat dikategorikan sebagai adanya dugaan tindak pidana, yakni pencemaran nama baik,” ujar dia.
Oleh karena itu, anggota DPR tersebut dapat diduga melanggar Pasal 310 atau Pasal 311 KUHP alias adanya dugaan fitnah.
Menurut Yudistira, pakar Hukum Pidana Universitas Airlangga Surabaya Prof Nur Basuki Minarno menjelaskan bahwa Muhammad Nasir tidak dapat berlindung di belakang hak imunitas yang dimiliki anggota DPR.
Hak imunitas diberikan kepada anggota DPR jika memenuhi dua hal yaitu forum dan substansi. “Benar pernyataan tersebut diberikan dalam ruang rapat resmi DPR, namun tidak memenuhi syarat substansinya,” kata Yudistira menirukan ucapan Nur Basuki.
Sedangkan anggota DPR bukan aparat penegak hukum. “Jadi, meskipun menyampaikan pendapat atau pernyataan di dalam forum resmi seperti RDP, anggota DPR tersebut tidak akan mendapatkan hak imunitas karena tidak sesuai substansinya,” kata dia.
Salah satu pernyataan Muhammad Nasir yang dinilai tidak sesuai yakni menyebut Tan Paulin sebagai ratu batu bara karena kerap mengambil hasil tambang dan tidak melaporkannya kepada pemerintah.
Kalimat itu dinilai dapat dikategorikan sebagai pernyataan yang diduga mencemarkan nama baik Tan Paulin. Nasir juga patut diduga melakukan tindak pidana penghinaan terhadap klien.
“Nasir mengeluarkan penyataan-pernyataannya di depan umum. Harap dicatat, menurut pasal 315 KUHP, penghinaan di tempat umum, termasuk penyataan dalam bentuk maki-makian seperti yang dilakukan Nasir, sudah patut diduga sebagai pelanggaran pidana,” katanya.
“Ingat, belum ada putusan sidang yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht, yang menyatakan bahwa klien saya mencuri. Hati-hati, ini bisa kena pasal 315 KUHP,” tambahnya.
Ia mengatakan, kliennya merasa sangat dirugikan dengan pemberitaan media terkait tudingan seperti itu. “Fakta hukum yang sebenarnya, klien kami merupakan pengusaha yang membeli batu bara dari tambang pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) resmi,” ujar dia.
Semua batu bara yang diperdagangkan oleh perusahaan Tan Paulin diklaim sudah melalui proses verifikasi kebenaran asal usul barang dan pajak yang sudah dituangkan di Laporan Hasil Verifikasi (LHV) dari surveyor yang ditunjuk.
Ia juga mengklaim bahwa Tan Paulin melakukan perdagangan batu bara dengan benar dan didasari oleh Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus Pengangkutan dan Penjualan Nomor 94/1/IUP/PMDN/2018 yang terdaftar di Minerba One Data Indonesia.
Yudistira mencontohkan, royalti fee melalui e-PNBP telah dibayarkan oleh pemegang IUP OP tempat asal barang batu bara secara mandiri atau self assesment. Pembayaran dilakukan melalui aplikasi SIMPONI atau MOMS berdasarkan kualitas dan kuantitas batu bara, mengacu kepada LHV surveyor.
Ia juga menegaskan, batu bara yang dijual oleh Tan Paulin ke luar negeri sudah melalui tahapan dan proses yang sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Dokumen resmi dari IUP-OP yang memproduksi batu bara sesuai dengan kuota dari Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahunan tahun berjalan sudah dikantongi. Selain itu, royalti fee kepada negara sudah dibayarkan.
“Semua sudah sesuai aturan. Kami bukan maling. Kami menjalankan usaha secara benar dan transparan,” kata Yudistira.
Soal tuduhan merusak infrastruktur, ia mengatakan bahwa pihak Kementerian ESDM melalui Ditjen Minerba sudah pasti melakukan pengawasan di setiap lokasi usaha pertambangan. Selain itu, dievaluasi oleh tenaga teknis tambang.
“Jadi tudingan bahwa klien kami merusak infrastruktur, sangat lucu. Sangat tidak masuk akal,” kata Yudhistira.
Sebelumnya, Muhammad Nasir mengatakan ada pengusaha nakal yang mencuri batu bara. Pengusaha ini memproduksi mineral hitam itu tanpa memiliki izin tambang.
Ia menyebut pengusaha nakal tersebut sebagai ratu batu bara. Julukan ini diberikan lantaran pebisnis yang dimaksud dapat memproduksi hingga satu juta ton per bulan dan mengekspor ke luar negeri.
"Ada ratu batu bara tidak ditangkap. Produksinya satu juta per bulan. Tapi tidak ada laporan Kementerian ESDM ke Kami. Tan Paulin (namanya). Saya bilang, tangkap orang ini," ujarnya dalam Rapat Kerja Komisi VII dengan Menteri ESDM di Gedung Parlemen, pekan lalu (13/1).
Menurut Nasir, imbas ulah ratu batu bara tersebut, infrastruktur yang dibangun pemerintah daerah menjadi rusak. Namun sampai saat ini, oknum itu tidak pernah ditangkap ataupun diusut.
"Apa uangnya sampai ke Kementerian? Apalagi satu juta (ton) satu bulan. Dengan harga Rp 2,5 juta batu bara, Rp 2,5 triliun itu uangnya. Sampai saya panggil Kapolda, ‘ini siapa? Kenapa tidak ditangkap juga. Pak Menteri kok santai saja," katanya.