Penurunan kinerja hulu migas dinilai sebagai akar masalah permasalahan subsidi dan kompensasi BBM di Indonesia. Menurut laporan ReforMiner Institute produksi dan cadangan migas Indonesia turun signifikan. Hal tersebut mengakibatkan pada ketergantungan migas impor.
Kajian bertajuk Rencana Pembatasan Konsumsi BBM dan Tata Kelola Hulu-Hilir Migas Nasional (2022), produksi minyak Indonesia turun dari 1,58 juta barel per hari pada 1980 menjadi 743 ribu barel per hari pada 2020. Pada periode yang sama, cadangan minyak turun dari 11,60 miliar barel menjadi 2,44 miliar barel.
Penurunan produksi salah satunya akibat produksi migas Indonesia bergantung pada lapangan-lapangan tua (mature field) yang memerlukan perlakuan khusus. Selama 10 tahun terakhir produksi minyak dan gas Indonesia masing-masing tercatat turun sekitar 31% dan 19%.
Berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2021, sekitar 70% Wilayah Kerja (WK) Migas produksi di Indonesia telah mengalami penurunan produksi alamiah. Produksi migas Indonesia diantaranya dikontribusikan oleh mature field yaitu 4 WK Migas berumur lebih dari 50 tahun dan 36 WK Migas berumur 25 sampai 50 tahun.
"Biaya produksi dan pemeliharaan mature field dilaporkan terus meningkat sejalan dengan penurunan kemampuan produksinya," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, dalam laporan tersebut, dikutip Senin (6/6).
Guna mengatasi hal tersebut, insentif fiskal dirasa menjadi kunci penting untuk menjaga keekonomian dan tingkat produksi migas pada lapangan-lapangan tua. Simak kinerja lifting migas pada databoks berikut:
Hasil riset Inter-American Development Bank tahun 2020 menemukan bahwa pemberian insentif untuk mature field dapat menambah umur keekonomian proyek rata-rata sekitar 30 tahun.
Hal serupa juga ditunjukkan oleh hasil riset Haliburton yang menemukan bahwa sekitar 70% lapangan migas produksi di dunia merupakan mature field.
Akan tetapi data menunjukkan bahwa produksi migas dunia dalam 15 tahun terakhir tercatat masih meningkat dengan produksi minyak rata-rata meningkat sekitar 1,08% per tahun dan produksi gas meningkat sekitar 2,67% per tahun.
Data International Energy Agency (IEA) menunjukkan dalam 5 tahun terakhir investasi hulu migas global rata-rata meningkat 1,30% per tahun. Selama tahun 2016-2020 investasi hulu migas global tercatat meningkat sebesar 9,52%.
Investasi hulu migas global diproyeksikan akan meningkat dari US$ 418 miliar pada 2021 menjadi sekitar US$ 476 miliar pada 2024. Realisasi dan proyeksi investasi tersebut menegaskan bahwa peran hulu migas masih penting di tengah tren transisi energi.
Investasi hulu migas Indonesia selama periode 2016-2021 rata-rata tercatat mengalami penurunan sekitar 1,70% per tahun. Sementara pada periode yang sama, investasi hulu migas di Australia, Brazil, dan Malaysia masing-masing meningkat sekitar 5%, 4%, dan 1% per tahun.
Faktor-faktor yang diidentifikasi menjadi penyebab menurunnya investasi hulu migas di Indonesia diantaranya WK mature field, risiko eksplorasi tinggi, insentif hulu migas terbatas, perizinan hulu migas kompleks, dan isu transisi energi.
Selanjutnya, pengaturan dalam tata kelola hilir migas yang kurang tegas diidentifikasi menjadi salah satu penyebab terjadinya kompleksitas dalam penanganan permasalahan subsidi dan kompensasi BBM di Indonesia.
"Penetapan kuota BBM subsidi dan JBKP dilakukan oleh pihak yang tidak berperan sebagai pemegang kuasa anggaran maupun pelaksana PSO atau penugasan," ujar Komaidi.
Akibatnya risiko bisnis, teknis operasional, dan konsekuensi anggaran subsidi/kompensasi seringkali belum menjadi bagian dari variabel penentu di dalam menetapkan target kuota BBM subsidi dan JBKP.
Komaidi menilai, penyelesaian proses revisi UU Migas yang telah berjalan sejak tahun 2008 atau 14 tahun yang lalu merupakan kunci utama untuk dapat menyelesaikan tidak hanya permasalahan subsidi dan kompensasi BBM, tetapi perbaikan terhadap tata kelola hulu-hilir migas nasional secara keseluruhan.
"Perbaikan tata kelola hulu-hilir migas melalui revisi UU Migas berpotensi dapat mengembalikan era kejayaan hulu migas Indonesia. Jika hal tersebut dapat terjadi, Indonesia akanmemperoleh windfall profit ketika harga minyak meningkat bukan mengalami tekanan fiskal di APBN seperti saat ini," Jelasnya.
Komaidi berharap Pemerintah bisa mengkaji aturan yang menyangkut biaya dan manfaat yang akan diperoleh dari rencana pembatasan konsumsi BBM sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan.
Meskipun tidak populis, ujar Komaidi, menyesuaikan harga BBM Subsidi dan JBKP secara terbatas perlu dipertimbangkan karena kemungkinan relatif lebih efektif untuk dapat menyelesaikan permasalahan dibandingkan melakukan pembatasan konsumsi BBM.
Pembatasan konsumsi BBM dirasa kontraproduktif dengan tujuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mengingat porsi terbesar penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah dari sektor konsumsi.
"Edukasi mengenai meningkatnya kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi BBM perlu tersampaikan secara utuh kepada publik," tukas Komaidi.