Kementerian ESDM menyampaikan bahwa pemerintah akan memperluas cakupan hilirisasi komoditas tambang pada bauksit, bijih tembaga, timah, dan bijih besi. Hal ini menyusul pada hasil positif pemerintah yang sukses pada hilirisasi nikel.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif, mengatakan program hilirisasi produk tambang bisa meningkatkan nilai tambah dari mineral yang akan dijual.
Irwandy mencontohkan, harga bijih nikel yang hanya dihargai US$ 33 per ton akan melonjak jadi US$ 2.622 per ton dan US$ 8.396 per ton setelah dimurnikan menjadi ferronikel dan nikel matte. Angka ini akan lebih tinggi jika dioleh lebih jauh menjadi nikel batangan senilai US$ 13.786 per ton.
Hal serupa juga terjadi pada sektor tambang aluminum. Saat masih dalam bentuk bauksit, harga jual di pasaran hanya berada di US$ 18 per ton. Harga jual akan meningkat usai bauksit dimurnikan menjadi alumina dengan harga jual US$ 350 per ton dan kembali meningkat jika diolah menjadi produk aluminum US$ 1.762 per ton.
"Secara internal bapak presiden menginginkan hilirisasi tidak hanya di satu komoditas, tapi juga di komoditas bauksit, timah, nikel, dan sebagainya," kata Irwandi saat menjadi pembicara dalam agenda daring bertajuk 'Inovasi untuk Stabilisasi dan Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan' pada Jumat (18/11).
Lebih lanjut, kata Irwandi, pemerintah juga dalam waktu dekat akan menerapkan hilirisasi pada produk tembaga. Saat masih menjadi bijih, tembaga cuma berada di harga US$ 4,36 per ton. Harga jualnya akan naik menjadi US$ 1.365 per ton jika diolah menjadi konsentrat tembaga.
Lebih dari itu, harga komoditas tembaga bakal bernilai lebih tinggi jika telah melewati fase pemurnian menjadi katoda tembaga dengan harga US$ 6.049 per ton. Produk paling ujung adalah kabel tembaga dengan harga jual mencapai US$ 13.000 per ton.
Selanjutnya, komoditas tambang bijih timah juga berpeluang untuk menghasilkan keuntungan besar jika melewati proses hilirisasi. Adapun bijih timah hasil penambangan dihargai US$ 1.000 per ton. Angka ini akan naik jadi US$ 9.000 per ton setelah melewati proses pengolahan dan pemurnian.
Harga timah bisa melambung lebih tinggi jika sudah dalam bentuk timah batangan untuk keperluan manufaktur seharga US$ 16.250 per ton.
Terakhir, hal yang sama juga terjadi pada komoditas tambang besi atau baja. Saat masih dalam bentuk bijih, harga jual hanya sekira US$ 30 per ton. Harga jual akan meningkat ke US$ 138 per ton usai diolah dan melonjak menjadi US$ 555 per ton setelah pemurnian.
Lebih dari itu, harga bijih besi atau baja akan melonjak hingga US$ 975 per ton setelah menjadi produk manufaktur baja karbon.
Kendati demikian, Irwandy menyebutkan bahwa hilirisasi di Indonesia masih menemui beragam tantangan. Satu diantara yang paling vital yakni penyediaan smelter di dalam negeri yang mayoritas masih dalam tahap konstruksi.
Hingga 2021, ada 21 smelter yang dikelola oleh Kementerian ESDM. Sementara di sisi lain ada 32 unit smelter milik swasta yang masih dalam tahap pembangungan.
"Ambil contoh saja bauksit baru 2 atau 3 smelter yang operasi, masih ada 9 sampai 10 yang dalam konstruksi, apakah ini akan selesai karena pelarangan penjualan biji bauksit di Juni 2023. Dan ini sangat menentukan hilirisasi ke depan," ujar Irwandy.
Selain itu, fluktuasi harga jual produk hilirisasi juga menimbulkan kekhawatiran. Menurut Irwandy, perubahan harga komoditas akhir selalu berubah tiap bulan.
Dari laporan nota dinas bulan November yang diperolehnya, Irwandi mengatakan 70% komoditas atau produk hasil hilirisasi mengalami penurunan harga dibandingkan bulan lalu. Sementara hanya 30% produk hilirisasi yang mengamali kenaikan harga.
"Ini bukan hal yang mudah karena hasil daripada hilirisasi sangat tergantung pada harga, sementara harga tidak bisa dikontrol. Mereka itu tergantung pada supply dan demand," kata Irwandy.