Sejumlah negara di Eropa berencana menyalakan kembali pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara usai Rusia memangkas ekspor gasnya ke kawasan tersebut. Bahkan Moskow berencana menghentikan sepenuhnya ekspor gas ke Eropa pada Agustus mendatang.
Alhasil, proses transisi energi di blok ekonomi terbesar dunia ini terancam mundur. Menurut data Eurostat, 40% dari total impor gas Uni Eropa (UE) berasal dari Rusia. Setiap negara memiliki tingkat ketergantungan yang berbeda dengan Jerman menjadi negara UE dengan ketergantungan tertinggi terhadap gas dari Rusia, yakni mencapai 55%.
Dengan musim dingin yang tak lama lagi, beberapa negara Eropa telah membatalkan rencana penutupan PLTU batu bara. Ada juga yang menyalakan kembali pembangkit negara yang memilih untuk menyalakan kembali PLTU yang telah dinonaktifkan.
Komisi Eropa telah menyatakan keprihatinannya terhadap langkah sejumlah negara anggota UE untuk kembali menyalakan PLTU batu bara karena perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan gangguan serius pada pasokan energi global.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen bahkan memperingatkan bahwa penggunaan kembali batu bara merupakan ancaman serius terhadap ambisi UE untuk menjadi netral karbon pada 2050.
“Kita harus memastikan bahwa kita menggunakan krisis ini untuk bergerak maju dan tidak tergelincir ke bahan bakar fosil yang kotor,” kata von der Leyen seperti dikutip Al Jazeera, Rabu (22/6). ”Ini garis yang sangat tipis dan tidak diketahui apakah kita telah mengambil langkah yang benar.”
Anggota UE Ramai-ramai Nyalakan PLTU Batu Bara
Jerman, Austria dan Belanda mengatakan mereka akan mengurangi pembatasan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara setelah raksasa energi Rusia Gazprom mengatakan akan mengurangi jumlah gas yang dipasok melalui pipa Nord Stream 1 ke Jerman.
Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck mengatakan bahwa pemotongan pasokan gas ke Eropa merupakan serangan terhadap Jerman. Negeri Panzer menjadi yang nomor wahid di antara blok barat yang kembali menghidupkan pembangkit listrik batu bara.
Mereka menyalakan pembangkit batu bara untuk mencegah kekurangan gas saat Rusia memangkas pasokan dari Pipa Nord Stream 1. Sebagaimana diberitakan oleh Reuters pada Rabu (22/6), Pipa Nord Stream 1 hanya mengaliri gas sejumlah 40% dari total kapasitas.
Habeck mengatakan Jerman akan secara signifikan meningkatkan penggunaan batu bara yang sangat berpolusi untuk mempertahankan pasokan energi menjelang musim dingin. Suhu rata-rata di Jerman bisa mencapai 6° C atau lebih rendah pada musim dingin sebelumnya antara November 2021 hingga April 2022.
Politikus Partai Hijau Jerman itu melanjutkan, langkah yang dipilih oleh otoritas Jerman merupakan langkah darurat demi mengantisipasi ancaman kekurangan energi. “Ini pahit tetapi dalam situasi ini penting untuk menurunkan penggunaan gas,” kata Habeck.
Pemerintah Jerman mengatakan pada bulan ini akan mengeluarkan undang-undang darurat untuk membuka kembali pembangkit listrik tenaga batu bara untuk pembangkit listrik.
Habeck mengatakan Berlin sedang mengerjakan undang-undang baru untuk menggunakan kembali PLTU Batu Bara Mothballed hingga 10 gigawatt selama 2 tahun ke depan. Kapasitas tersebut, diperkirakan dapat menyumbang sekitar 5% dari total produksi energi Jerman.
Habeck mengakui bahwa rencana tersebut bertentangan dengan kebijakan iklim Jerman untuk menghapus penggunan energi batu bara secara bertahap pada tahun 2030. “Situasinya serius. Putin membuat kami kesal, menaikkan harga, dan memecah belah kami. Kami tidak akan membiarkan ini terjadi," kata Habeck.
Tahun lalu pembangkit listrik berbahan bakar gas menyumbang 15 persen dari pembangkit listrik Jerman. Pada akhir Mei, Jerman memiliki 31.4 Gw pembangkit listrik tenaga batu bara dan 27.9 Gw pembangkit listrik tenaga gas di jaringan.
Italia pada Selasa (21/6) juga mengumumkan rencana untuk membeli batu bara untuk menyalakan pembangkit listrik batu bara. Perusahaan energi Italia, Eni, melaporkan aliran gas dari Rusia berkurang selama lebih dari seminggu.
Menteri Transisi Ekologi Roberto Cingolani mengatakan bahwa langkah tersebut bertujuan untuk menghemat gas sekaligus menjembatani kesenjangan pasokan energi. Sebagai informasi, 45% gas Italia berasal dari Rusia. Italia akan mengumumkan status siaga tinggi jika Rusia terus membatasi pasokan.
Langkah tersebut termasuk mengurangi konsumsi, termasuk penjatahan gas untuk pengguna industri tertentu, meningkatkan produksi di pembangkit listrik tenaga batu bara dan meminta lebih banyak impor gas dari pemasok lain berdasarkan kontrak yang ada.
Perdana menteri Mario Draghi mengatakan pemerintahnya sedang meninjau opsi lain termasuk meningkatkan impor gas dari AS dan dari Azerbaijan, Aljazair, Tunisia dan Libya melalui jaringan pipa yang ada.
Italia telah menghabiskan sekitar € 16 miliar, setara Rp 250 triliun, untuk melindungi bisnis dan konsumen dari dampak kenaikan harga energi. Draghi menegaskan akan terus mencari cara untuk memberikan keringanan harga. “Kita harus sangat berhati-hati tentang dampak sanksi terhadap ekonomi kita,” ujarnya.
Belanda juga akan meningkatkan produksi listrik dari batu bara untuk menghemat pasokan gas. Pemerintah Belanda mengatakan akan segera mengambil langkah untuk membatasi konsumsi gas. Termasuk di antaranya pencabutan pembatasan PLTU batu bara hingga 2024.
Pemerintah juga mengatakan akan mendorong warga dan pelaku usaha untuk menghemat gas, termasuk dengan memberikan insentif finansial kepada pengguna industri besar untuk memangkas konsumsinya. “Kami melihat total pasokan gas dari Rusia ke Eropa menurun dengan cepat,” kata Menteri Energi dan Iklim, Rob Jetten.
Jetten menambahkan, tanpa mengambil tindakan tersebut, Belanda dan mayoritas negara Eropa akan menghadapi kesulitan di musim dingin.
Senada, pemerintah Austria pada Minggu (19/6) mengumumkan bahwa mereka akan menyalakan kembali pembangkit listrik batu bara, mengikuti langkah Jerman.
"Pemerintah federal dan kelompok energi Verbund telah sepakat untuk mengubah pembangkit listrik pemanas distrik Mellach, yang saat ini ditutup, sehingga dalam keadaan darurat dapat sekali lagi menghasilkan listrik dari batu bara (bukan gas)," kata Kanselir Austria, Karl Nehammer.
Batu Bara Diharapkan Jadi Solusi Sementara
Neil Makaroff dari Climate Action Network mengatakan bahwa kembali ke batu bara adalah pilihan yang buruk dengan konsekuensi struktural. “Negara-negara terus mendukung energi fosil daripada berinvestasi cukup dalam energi terbarukan,” katanya.
“Risikonya adalah mengganti satu ketergantungan dengan yang lain: mengimpor batu bara Kolombia atau Australia, gas alam cair AS atau Qatar, untuk menggantikan hidrokarbon Rusia,” tambah Makaroff.
Kelompok lain, Carbon Market Watch, setuju bahwa perpindahan ke batubara “mengkhawatirkan” dan menyatakan harapannya akan “sementara mungkin”.
Uni Eropa, sebagai bagian dari sanksi yang dikenakan pada Rusia atas invasinya ke Ukraina, secara bertahap melarang impor batu bara dan minyak Rusia. Moskow, pada gilirannya, telah menolak pasokan gas ke negara-negara Uni Eropa.
Meskipun dikatakan pasokan berkurang karena alasan teknis atau pemeliharaan, Eropa percaya Rusia mencoba untuk menyakiti UE karena dukungannya terhadap Ukraina, khususnya tawaran untuk suatu hari bergabung dengan blok UE.