Sebanyak 144 panel surya yang masing-masing berkapasitas 310 watt/peak, menjadi instrumen penting bagi 2.100 penduduk Desa Kaliurip, Kecamatan Purwojati, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) tersebut berfungsi untuk menghidupkan pompa air untuk mengairi sawah.
Keberadaan pompa air ini sangat krusial. Sebab, posisi sawah dan ladang di desa itu lebih tinggi dari Sungai Tajum yang menjadi sumber air terdekat. Sebelumnya warga mengandalkan kincir air yang dibangun secara swadaya untuk mengairi sawah. Namun beberapa tahun lalu kincir air tersebut kandas diterjang banjir.
Kepala Desa Kaliurip Kitam Wahyudi mengisahkan bahwa setelah itu warga mencoba menggunakan pompa air berbahan bakar diesel. Tapi, penggunaan pompa diesel malah memunculkan masalah baru, yakni 'besar pasak daripada tiang'.
Warga harus merogoh kocek sebesar Rp 25.000 per jam untuk membeli bahan bakar. Padahal, dalam sehari sawah harus diairi setidaknya selama tujuh jam. Biayanya lebih mahal lagi warga yang tidak memiliki pompa diesel yang harus mengeluarkan ongkos sewa.
"Apalagi kalau musim tanam, bajak sawah itukan perlu air yang banyak, pakai traktor juga," kata Wahyudi saat ditemui Katadata.co.id beberapa waktu lalu, Rabu (29/6).
Warga setempat pun mencari cara agar air sungai Tajum bisa mengaliri ke sawah mereka dengan biaya minim. Alhasil, Petani Desa Kaliurip melalui perangkat desa mengajukan proposal kepada Dinas Pertaninan Kabupaten Banyumas. Keluhan warga dijawab dengan pemasangan pompa air tenaga surya di tahun 2018.
Pembangunan membutuhkan waktu sekitar satu tahun dan baru bisa dimanfaatkan perdana pada musim tanam pertama 2019. "Bisa mengairi 20 hektar sawah dan ladang, terutama di musim tanam kedua. Untuk palawija, jagung dan kacang-kacangan," sambung Wahyudi.
Pengairan pun dirasa lebih cepat sejak adanya pompa air tenaga surya. Dari yang sebelumnya membutuhkan waktu 30 hari, kini para petani hanya butuh warktu 20 hari.
Adapun 144 panel surya tersebut terletak di tengah-tengah lahan hasil hibah masyarakat. Bentuknya yang melebar dan didominasi warga biru kontras dengan hamparan padi yang menguning di bulan Juni.
Aliran listrik dari ratusan panel surya itu dialirkan ke rumah pompa melalui pipa besi warna merah berukuran 11 centimeter (cm). Pompa tersebut berada di salah satu sisi tepi Sungai Tajum yang berjarak 300 meter dari lokasi panel surya. Dengan hadirnya pompa air tenaga surya, sawah warga bisa panen dua sampai tiga kali dalam setahun.
Kuswari, sebagai warga yang ditunjuk sebagai operator pompa mengatakan, pompa tersebut tertanam di kedalaman 8 meter di bawah permukaan sungai. Pompa tersebut dilindungi oleh sebuah bangunan setinggi 4 meter dari rataan sungai.
Bentuk bangunan itu seperti rumah dan hanya memiliki satu buah pintu masuk yang terletak di atap bangunan. "Pompa hidup mulai dari pukul tujuh pagi hingga pukul lima sore, setiap hari," kata Kuswari.
Sebagai operator pompa, Kuswari sehari-hari berjaga di pos instalasi saklar untuk mengatur waktu aliran air. Selain itu, pria berusia 53 tahun tersebut akan menjadi orang yang paling dicari petani setiap ada yang hendak mengadu soal kemacetan pasokan air.
Kuswari menyebut, aliran Sungai Tajum yang mengalir sepanjang lebih dari 65 kilometer itu tak akan pernah kering, sekalipun di saat musim kemarau. "Kalau air macet, saya bersama beberapa warga masuk ke dalam rumah pompa, bersihin sampah dan lumpur. Kadang juga mengganti pipa yang bocor," ujarnya.
Merujuk pada data debit Sungai Tajum yang dikeluarkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Pusdataru) Provinsi Jawa Tengah, rata-rata debit air Sungai Tajum pada 2014 berada di angka 10,94 meter kubik (m3) per detik, dengan debit air paling banyak banyak 33,14 m3 per detik pada Desember.
Adapun untuk biaya pemeliharaan pompa, perawatan panel surya dan ongkos penggantian pipa yang pecah, penerima manfaat wajib membayar retribusi dalam bentuk hasil panen berupa 10 kilogram gabah setiap sepuluh angga. Satu angga setara 70 meter persegi (m2).
Dari lokasi rumah pompa, terlihat gagah Gunung Slamet yang menjulang di selebah timur dan rangkaian Gunung Batur di sebelah barat. Di lokasi tersebut juga ada bangunan peninggalan Jepang yang tersusun dari ribuan batu kali.
Bentuknya seperti gua yang menembus tanah. Lebar lorongnya mungil dan hanya cukup dimasuki oleh satu orang dewasa. Dalam dan gelap. "Itu dulunya saluran irigasi, Mas. Kalau mau difoto, izin dulu sama yang nunggu. Baca salam," kata seorang Babinsa kepada Katadata.co.id.
Walau persoalan akses air ke lahan pertanian sudah mulai teratasi, masih ada beberapa kendala dalam penyaluran akses air tersebut. Satu diantaranya adalah kurang meratanya akses air terhadap warga Desa Kaliurip.
Menurut Warjo selaku Ketua Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Desa Kaliurip menyampaikan masih ada puluhan area persawahan petani Desa Kaliurip yang belum merasakan manfaat dari adanya pompa air tenaga surya. Hal tersebut terjadi di lahan yang terletak di wilayah atas yang jauh dari titik hidran.
Hingga saat ini, sebagian petani masih ada yang bergantung pada air hasil tadah hujan. "Dari 70 orang yang punya tanah, hanya 45 orangan yang lahannya bisa dialiri. Yang sebelah sana (wilayah tinggi) belum bisa dialiri semua," ujar Warjo.
Selain itu, Warjo mengeluhkan waktu penggunaan pompa air yang hanya bisa dilakukan pada siang hari. Menurutnya, dengan waktu yang terabatas, sejumlah titik sawah belum memperoleh akses air yang optimal.
Sebagai tokoh yang dituakan di Desa Kaliurip, Warjo berharap pemerintah dapat memberikan sebuah solusi seperti penambahan listrik, penyediaan penampungan setrum hasil dari atap surya, atau pembangunan pemampungan air.
"Karena kalau aktif siang saja, masih kurang. ada sawah-sawah yang tidak bisa teralirkan kalau waktu siang saja. Kami mengharapkan ini tidak hanya bisa dimanfaatkan pada siang saja, tapi juga pas malam," harap Warjo.
Salah satu warga yang belum merasakan manisnya kehadiran pompa air tenaga surya adalah Artem. Wanita berusia 58 tahun ini menceritakan, suplai air untuk lahan yang ia garap masih bergantung pada sumber dari tadah hujan. Lokasi lahannya berada di atas hidran terdekat, kira-kira jaraknya tiga undak.
Di sana, Artem menggarap lahan milik orang lain yang ditanami kopi, dan kacang tanah. "Lahan ini masih masuk area Desa Kaliurip dan belum bisa dialiri air dari pompa. Untungnya bulan-bulan ini hujan terus," ucap Artem yang saat itu ditemui di lahan garapannya sembari bersiap untuk pulang ke rumah.
Sementara itu, Warjo menjelaskan bahwa sudah ada kesepakatan warga desa untuk mengatur penggunaan air secara bergiliran agar tidak terjadi gesekan antar warga. Pria yang memiliki lahan seluas 3.000 m3 ini mamaparkan, saat waktu tanam seluruh hidran air tidak dibuka secara bersamaan.
"Misalnya yang di sini lagi garap, maka hidran yang di sana jangan dibuka. Di sini ada garapan kira-kira seminggu baru selesai, ya hidran wilayah sini saja saya yang dibuka, yang di sana ditutup seminggu," papar Warjo.
Menanggapi adanya sejumlah warga yang belum merasakan dampak pompa air tenaga surya, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko menyampaikan ada dua cara untuk mengatasi hal tersebut, yakni membangun penampung setrum matahari dan membangun tandon atau bak penampung air di lahan tinggi.
Menurut dia, opsi pertama berupa menyediakan penampung setrum matahari seperti baterai masih muskil dilakukan karena tingginya harga yang harus dibayar.
"Kalau ada baterai, pompa air akan terus beroprasi selama 24 jam. Hanya saja ongkosnya mahal dan setiap periode waktu 2 sampai 3 tahun harus ganti dan harganya lebih mahal daripada proyek pembangunan pompa ini," ujarnya.
Ia menilai, membangun penampung air di lokasi tinggi merupakan langkah yang lebih mungkin bisa dilakukan. Sujarwanto mengatakan hasil listrik yang dihasilkan 44 Kwp bisa menjadi modal besar bagi pengoptimalan pompa air di siang sampai sore hari.
"Bikin bak besar dan mompanya dari siang. Ini tentang manajemen airnya, diameter pipa penyalur pompanya diganti dengan yang lebih besar untuk masuk ke bak yang ada di atas, kemudian bak ini bisa dibuka sesuai yang dibutuhkan," papar Sujarwanto.
Serapan Listrik Matahari di Tanah Kelahiran Kartini
Sekitar 300 kilometer ke utara dari Desa Kaliurip, energi surya yang melimpah sepanjang tahun juga dimanfaatkan oleh para pengrajin seni ukir di Jepara. Di daerah tempat lahirnya pahlawan nasional Raden Ajeng Kartini, pengrajin memanfaatkan PLTS atap untuk mendukung usaha kerajinan Jepara yang mendunia.
Sejumlah pengrajin seni ukir relief di Desa Senenan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, menyerap listrik surya untuk mendukung keperluan operasional produksi. Adapun pemasangan PLTS Atap ini disponsori oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah pada tahun 2021 dengan total kapasitas 20 Kwp.
Kepala Desa Senenan, Mulyono, mengatakan ada delapan pengrajin yang telah memasang PLTS Atap. Masing-masing dari mereka memasng 6 panel surya. Pemasangan panel surya ini diklaim berdampak pada penghematan biaya produksi hingga 50%. Pemasangan panel surya ini sudah berlansung selama enam bulan.
"(Sebelum dipasang PLTS Atap) bayar listrik Rp 800.000 sampai Rp 900.000 per bulan. Saat ini tiap bulan bayarnya Rp 400.000 sampai Rp 425.000," kata Mulyono saat ditemui Carving Art Studio Senenan pada Jumat (1/7).
Listrik yang dihasilkan dari PLTS Atap sebagian besar digunakan untuk pengoperasian perkakas elektronik seperti menyerut kayu, lem tembak sebagai perekat untuk merakit meja atau bingkai dan operasional penerangan. Adapun sistem PLTS ini terhubung lansung dengan PLN atau on grid.
Artinya, jika PLN mengalami pemadaman listrik, maka pihak yang terhubung dengan listrik PLN ikut padam. "Kalau PLN mati lampu, kami ikut mati lampu juga karena gak ada baterai. Ini kan tujuannya untuk efisiensi. Kalau pake baterai tambahannya sekitar Rp 75 juta," kata Mulyono.
Menurut Mulyono, pemasangan PLTS Atap dari Pemprov Jawa Tengah ditujukan untuk memberikan stimulus kepada para pengrajin seni ukir yang terdampak Pandemi Covid-19. Selain itu, pemasangan PLTS Atap diharapkan dalam mengotimalkan penggunaan energi terbarukan pada kelompok usaha produktif.
"Para pengrajin Tidak dikenakan biaya sama sekali. Semua murni dari Pemprov, mulai instalasi hingga ongkos tenaga pemasangan semua yang membiayai Pemprov. Kami terima dalam bentuk barang, bukan dalam bentuk uang," sambung Mulyono.
Salah satu penerima bantuan PLTS Atap adalah Kartono. Pemilik rumah produksi ukir 'Ega Jati' ini dipasang enam buah panel surya dengan kapasitas 2,04 Kwp. Kartono mengatakan pemasangan panel surya berdampak pada penghematan ongkos produksi. "Bisa dialihkan untuk tambahan upah pekerja," kata dia.
Di sanggar ukir miliknya, terdapat puluhan relief yang mayoritas memiliki motif tumbuhan merambat dengan daunnya yang lebar, tangkai kecil memanjang dan ujung daun yang runcing. Reflief-relief tersebut dilego mulai dari harga Rp 10 juta.
Pada kesempatan tersebut, Katrono menjelaskan masih ada persoalan yang lebih genting daripada ketersediaan pasokan listrik, yakni minimnya tenaga terampil atau minimnya regenerasi. Ia menambahkan, suplay listrik menjadi hal sekunder karena produksi seni ukir relief mayoritas masih menggunakan tenaga manual dari tangan manusia.
Ayah dari empat orang anak ini pun mengaku seluruh keturunanya belum ada yang tertarik untuk melanjutkan profesinya. "Dulu, waktu saya masih kecil, saya sudah diajari bapak mengukir sejak kelas 3 SD," kenang Kartono.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat, potensi tenaga surya di Indonesia mencapai hampir 20 ribu gigawatt (GW). Sementara dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), potensi tenaga surya di Indonesia mencapai 207,8 GW dengan pemanfaatan di angka 150 MW atau 0,15 GW.
Dalam dokumen tersebut, Provinsi Kalimantan Barat adalah pemilik potensi tenaga surya terbesar di Indonesia, yakni mencapai 20,11 GW yang disusul Sumatra Selatan 17,23 GW; Kalimantan Timur 13,47 GW; Sumatra Utara 11,85 GW; dan Jawa Timur 10,33 GW.