Gas Dinilai Tak Bisa Menjadi Jembatan Transisi Energi di Indonesia

Arief Kamaludin|Katadata
Ilustrasi. Pipa gas Pertamina.
19/7/2022, 16.24 WIB

Gas bumi dan produk turunan batu bara, gasifikasi dan cair, dinilai bukan solusi untuk mencapai transisi energi. Pemanfaatan gas sebagai jembatan menuju energi bersih hanya akan melanggengkan penggunaan energi fosil dan memperlambat akselerasi energi baru terbarukan di Indonesia.

Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetiyo menyebut pemanfaatan gas akan menunda proyek transisi energi. Upaya 'membirukan' energi fosil dengan teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) juga tidak ekonomis dan menjustifikasi penggunaan energi fosil secara terus-menerus.

“Gas menjadi jembatan transisi energi ini sifatnya meninabobokan. Bisnis gas kontraknya jangka panjang, seperti kontrak operasional PLTU yang sampai 30 tahun. PLTU dipensiunkan tapi diteruskan dengan energi fosil lainnya,“ ujarnya dalam diskusi Quo Vadis Komitmen Transisi Energi di G20? Refleksi atas Hasil KTT G7 di Jerman, Selasa (19/7).

Di forum yang sama, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mustasya mengatakan sikap permisif ke sumber energi gas akan menunda proyek transisi energi. Selain itu, Tata juga menyoroti isu ketahanan energi pada cadangan gas global.

Ia melihat, ketergantungan pada gas sebagai energi fosil akan menimbulkan krisis energi yang saat ini dialami mayoritas negara barat pasca Rusia memutus aliran gasnya ke sejumlah negara anggota Uni Eropa (UE).

“Gas bukan solusi penurunan emisi, tapi menunda solusi sebenarnya untuk mencapai transisi energi 2060. Selain, soal ketahanan energi, gasnya dari mana? yang tetap adalah langsung melompat ke energi terbarukan dengan potensi yang melimpah,“ ujar Tata.

Kekhawatiran terhadap ketahanan energi patut menjadi perhatian apabila dilihat dari capaian SKK Migas soal realisasi lifting migas atau produksi migas siap jual semester I 2022 yang masih jauh di bawah target.

Lifting minyak misalnya baru tercapai 614,5 ribu barel per hari (bph) atau 87% dari target APBN sebesar 703 ribu bph. Sementara, lifting gas mencapai 5.326 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 92% dari target 5.800 MMSCFD.

Strategic Advisor Center for Energy and Innovations Technology Studies (CENITS), Irnanda Laksanawan, menyampaikan cadangan gas di tanah air mencapai 41,6 TSCF dan asumsi produksi gas 6.000 MMSCD. Dengan perhitungan tersebut, maka ketersediaan gas hanya cukup hingga 19,6 tahun ke depan.

Menurutnya, akselerasi pengembangan gas bumi tidak mudah dan masih menghadapi tantangan seperti minimnya infrastruktur gas dan kesenjangan akses antar pulau, jaminan ketersediaan pasokan, mahalnya harga di tingkat pengguna akhir, kepastian dan konsistensi regulasi, dan tata niaga serta pengawasan sektor hilir gas bumi.

Akan tetapi, di sisi lain, Arnanda juga melihat kegiatan eksplorasi kerap menemukan cadangan gas yang besar yang diharap bisa mendukung target produksi gas bumi sebesar 12 BSCFD pada 2030.

Transisi Energi Bertahap Indonesia

Pemerintah berkomitmen menurunkan emisi karbon atau CO2 pada 2030. Salah satu caranya dengan pemanfaatan sumber gas yang digadang-gadang sebagai jembatan untuk menuju energi bersih menggantikan batu bara.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, visi industri fosil dalam era transisi energi yakni industri hulu migas yang rendah karbon. Menurutnya, gas akan menyokong kebutuhan energi dan dikembangkan untuk menggantikan peran batu bara.

“Industri hulu migas, terutama gas, akan menjadi penyokong energi pada masa transisi dan akan dikembangkan untuk menggantikan energi batu bara,“ kata Arifin pada akhir November 2021.

Oleh sebab itu, dia menegaskan bahwa industri hulu migas tidak akan serta merta ditinggalkan di era transisi energi. Sebab, industri ini juga menjadi salah satu pilar ekonomi Indonesia.

Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) juga terus menggenjot pasokan dan memperluas infrastruktur gas bumi di tengah upaya pemerintah mewujudkan net zero emission pada 2060 mendatang. Gas bumi dinilai sebagai produk energi fosil yang dinilai lebih bersih dan ramah lingkungan.

Komisaris Utama PGN Arcandra Tahar mengatakan gas bumi dapat menjadi sumber energi yang dapat diandalkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan energi bersih.

“Eropa pun mulai sekarang memakai kembali gas. Artinya, kebutuhan gas akan sangat signifikan. Ini kesempatan kita untuk menggunakan gas yang jauh lebih bersih,“ kata dia Januari lalu, Rabu (12/1).

Sementara Wakil ketua Komis VII DPR RI, Eddy Soeparno, menyampaikan bahwa batu bara dalam bentuk gas dan cair dapat difungsikan sebagai energi bersih usai diproses dengan bantuan teknologi.

“Ke depan, tidak hanya sekadar untuk dimanfaatkan tetapi justru menjadi salah satu fokus bagi kami untuk mengembangkan hilirisasi batu bara,” kata Eddy kepada Katadata.co.id, Rabu (23/3).

Eddy mengatakan pengembangan energi baru dan terbarukan harus dilihat dari tiga komponen yang saling terkait karena Indonesia tak mungkin melakukan lompatan dari proses transisi energi. “Kita gak bisa meloncat dari energi berbasis fosil langsung ke energi baru dan terbarukan. Makanya harus ada transisi energi,” kata dia.

Menurutnya, transisi energi harus dilakukan secara simultan dengan menjalankan tiga kegiatan secara bersamaan, yakni menjalankan produksi energi dari fosil yang masih harus dilaksanakan sembari memanfaatkan sumber energi transisi yang dikembangkan, terutama dari aspek infrastruktur.

Kemudian dilanjutkan dengan pengembangkan berbagai energi alternatif atau opsi dari energi terbarukan. Lebih lanjut, kata Eddy, dengan teknologi carbon capture, batu bara akan semakin maju dan murah secara ekonomis.

Sehingga PLTU yang sudah memiliki kapasitas untuk menerapkan teknologi itu mampu mengambil emisi karbon yang terkadung di dalamnya. “Sehingga PLTU bisa tetap dijalankan dengan batu bara tetapi emisi karbonnya bisa diserap dan kemudian disalurkan ke tempat-tempat penyimpanan,” ujar Eddy.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu