Memahami Gijzeling, Tindakan Penyanderaan untuk Menagih Utang Pajak

Arief Kamaludin | Katadata
Ilustrasi, lambang Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Penulis: Agung Jatmiko
1/3/2024, 19.25 WIB

Dalam praktik perpajakan, tak jarang wajib pajak mengabaikan kewajibannya, seperti tidak melunasi utang pajak. Atas tindakan pengabaian kewajiban perpajakan ini, aparatur pajak atau fiskus, berhak untuk melakukan penindakan. Salah satunya, melalui gijzeling, atau penyanderaan.

Langkah penyanderaan tidak diambil begitu saja, karena sebelumnya fiskus telah menjalankan tindakan penagihan secara bertahap. Mulai dari mengingatkan hingga mengambil tindakan tegas.

Bentuk penagihan yang paling lunak, yang dijalankan oleh otoritas pajak adalah mengingatkan wajib pajak akan kewajibannya. Bentuk mengingatkan ini dilakukan melalui dua instrumen, yaitu menerbitkan surat ketetapan pajak (SKP) dan surat tagihan pajak.

Jika wajib pajak masih mengabaikan, maka fiskus akan mengambil tindakan yang lebih tegas, yakni mengeluarkan Surat Teguran. Surat ini didahului dengan kesempatan yang diberikan kepada wajib pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran utang pajak.

Teguran dapat diikuti dengan Surat Paksa, apabila wajib pajak tetap tidak melunasi utang pajaknya. Surat Paksa ini kemudian dapat diikuti dengan tindakan penyanderaan.

Nah, apa yang dimaksud dengan gijzeling atau tindakan penyanderaan dalam sistem perpajakan Indonesia, dan dalam kondisi apa tindakan ini dijalankan? Simak ulasan berikut ini.

Gedung Direktorat Jenderal Pajak (Arief Kamaludin | KATADATA)

Pengertian Gijzeling atau Penyanderaan dalam Penagihan Pajak

Mengutip buku 'Pengantar Ilmu Hukum Pajak', R. Santoso Brotidihardjo mengartikan gijzeling atau penyanderaan sebagai tindakan penyitaan atas badan orang yang berutang pajak.

Tindakan ini masuk kategori penyitaan, tetapi bukan langsung atas kekayaan, melainkan secara tidak langsung, yaitu diri orang yang berutang pajak.

Dasar hukum fiskus melakukan penyanderaan terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 189/PMK.03/2020. Dalam aturan ini, disebutkan penyanderaan merupakan pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.

Gijzeling atau penyanderaan, pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dengan bentuk-bentuk sanksi perpajakan yang lain, yakni mendorong wajib pajak agar melunasi utang pajaknya.

Selain itu, penyanderaan dapat menjadi sarana untuk menyebarkan efek jera bagi wajib pajak lainnya, yakni untuk menumbuhkan kesadaran dan meningkatkan kepatuhan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Mengutip penelitian berjudul "Criminal Law and The Optimal Use of Non-Monetary Sanctions as a Deterrent", dijelaskan apabila biaya atau cost of non-compliance, yang dikenakan lebih besar dari gain atau kepuasan (savings from non-compliance) yang diperoleh, maka wajib pajak cenderung memutuskan membayar tunggakan pajak.

Tindakan gijzeling atau penyanderaan ini, merupakan salah satu bentuk penagihan aktif yang dilakukan oleh fiskus, selain penerbitan Surat Paksa dan melakukan Penagihan Seketika dan Sekaligus.

Syarat dan Tata Cara Gijzeling

Meski merupakan salah satu bentuk penagihan pajak aktif, fiskus tidak bisa begitu saja menjalankan gijzeling, meski telah mengeluarkan Surat Paksa. Sebab, untuk menjalankannya ada beberapa faktor yang harus dipenuhi.

Berdasarkan Pasal 58 Ayat (1) PMK Nomor 189/PMK.03/2020, tindakan penyanderaan dapat dilakukan terhadap penanggung pajak dalam hal:

  • Mempunyai utang pajak paling sedikit Rp 100 juta.
  • Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajaknya.

Itikad baik penangung pajak diragukan apabila, tidak melunasi utang pajak baik sekaligus maupun angsuran, walaupun telah mendapatkan Surat Paksa.

Selain itu, tidak adanya itikad baik juga dinilai apabila penanggung pajak menyembunyikan atau memindahtangankan barang/aset yang dimiliki/ dikuasai, termasuk akan membubarkan badan usaha, setelah timbulnya utang pajak.

Untuk menjalankan penyanderaan, fiskus harus mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan (Menkeu). Berdasarkan permohonan tersebut, Menkeu akan menerbitkan Izin Penyanderaan.

Berdasarkan Pasal 59 Ayat (3) PMK Nomor 189/PMK.03/2020, permohonan Izin Penyanderaan paling sedikit memuat beberapa hal, antara lain:

  • Identitas penanggung pajak yang akan disandera.
  • Jumlah utang pajak yang belu dilunasi.
  • Tindakan penagihan pajak yang telah dilaksanakan.
  • Uraian tentang adanya petunjuk bahwa penanggung pajak diragukan itikad baiknya dalam pelunasan utang pajak.
  • Lamanya penyanderaan.
Petugas DJP melayani wajib pajak (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/nym)

Setelah mendapatkan Izin Penyanderaan dari Menkeu, maka pejabat yang berwenang akan mengeluarkan Surat Perintah Penyanderaan. Surat ini memuat identitas, alasan dan izin penyanderaan. Selain itu, surat perintah ini juga memuat jangka waktu dan tempat penyanderaan.

Tempat penyanderaan yang dimaksud, harus memenuhi beberapa syarat, yakni tertutup dan terasing dari masyarakat, mempunyai fasilitas terbatas; dan mempunyai sistem pengamanan dan pengawasan yang memadai. Jika tempat penyanderaan belum dibentuk, maka penanggung pajak dititipkan di rumah tahanan negara dan terpisah dari tahanan lain.

Lamanya penyanderaan diberikan paling lama enam bulan terhitung sejak penanggung pajak ditempatkan atau dititipkan dalam tempat penyanderaan. Jangka waktu ini dapat diperpanjang, apabila hingga berakhirnya waktu penyanderaan, penanggung pajak tidak/belum melunasi utang pajaknya.

Perpanjangan penyanderaan diberikan paling lama enam bulan dan terhitung sejak penyanderaan sebelumnya berakhir. Perpanjangan penyanderaan ini dapat terus diperpanjang, sampai penanggung pajak melunasi utang pajak atau ada keputusan pelepasan.

Syarat Pelepasan Penanggung Pajak dari Gijzeling

Seperti telah disebutkan, keputusan pelepasan atas penyanderaan dapat diberikan kepada penaggung pajak. Persyaratan yang harus dipenuhi agar penanggung pajak mendapatkan pelepasan antara lain:

  • Utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas.
  • Lamanya penyanderaan yang ditetapkan dalam surat perintah penyanderaan telah berakhir.
  • Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
  • Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menkeu.

Jika penanggung pajak yang tengah menjalani penyanderaan memenuhi salah satu dari empat persyaratan ini, maka akan dilepaskan.

Berdasarkan Pasal 67 Ayat (2) PMK Nomor 189/PMK.03/2020, yang dimaksud dengan pertimbangan tertentu dari Menkeu ini mencakup beberapa hal sebagai berikut:

1. Penanggung pajak merupakan pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif telah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan saham atau modal terhadap utang pajak WP Badan, yang menjadi dasar dilakukannya penyanderaan.

2. Pertimbangan pelepasan diberikan, apabila penanggung pajak menyerahkan aset meliputi dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, sertifikat tanah, sertifikat deposito, dan/atau aset lainnya, yang nilainya paling sedikit sama dengan utang pajak dan biaya penagihan pajak yang menjadi dasar dilakukan penyanderaan.

3. Penanggung pajak merupakan pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif menyerahkan aset meliputi dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, sertifikat tanah, sertifikat deposito, dan/atau aset lainnya.

Dokumen tentang kepemilikan aset tersebut, memiliki nilai paling sedikit sama dengan utang pajak dan biaya penagihan pajak secara proporsional, berdasarkan porsi kepemilikan saham atau modal terhadap utang pajak WP Badan yang menjadi dasar dilakukan penyanderaan.

4. Penanggung pajak yang merupakan salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau yang mengurus harta peninggalan, bagi harta warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, telah menyerahkan barang yang meliputi:

  • Seluruh harta peninggalan wajib pajak dalam hal utang pajak dan biaya penagihan pajak lebih besar daripada harta peninggalan wajib pajak.
  • Harta peninggalan wajib pajak sebesar utang pajak dan biaya penagihan pajak yang menjadi dasar dilakukan penyanderaan.
Logo Direktorat Jenderal Pajak (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

5. Penanggung pajak yang merupakan para ahli waris wajib pajak, bagi harta warisan yang telah dibagi, telah menyerahkan barang meliputi:

  • Seluruh harta warisan sesuai dengan porsi yang diterima oleh masing-masing ahli waris dalam hal utang pajak dan biaya penagihan pajak lebih besar daripada harta warisan.
  • Harta warisan sebesar utang pajak dan biaya penagihan pajak yang menjadi dasar dilakukan penyanderaan.

6. Penanggung pajak yang merupakan wali bagi anak yang belum dewasa telah menyerahkan barang meliputi:

  • Seluruh harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya, dalam hal utang pajak dan biaya penagihan pajak lebih besar daripada harta anak yang belum dewasa.
  • Harta anak yang belum dewasa sebesar utang pajak dan biaya penagihan pajak yang menjadi dasar dilakukan penyanderaan.
  • Seluruh harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya dan harta pribadi wali yang bersangkutan yang jumlahnya mencukupi untuk melunasi seluruh utang pajak dan biaya penagihan pajak, dalam hal pejabat pajak dapat membuktikan bahwa wali yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut.

7. Penanggung pajak yang merupakan pengampu bagi orang yang berada dalam pengampuan telah menyerahkan barang, yang meliputi:

  • Seluruh harta orang yang berada dalam pengampuannya dalam hal utang pajak dan biaya penagihan pajak lebih besar daripada harta orang yang berada dalam pengampuan.
  • Harta orang yang berada dalam pengampuannya sebesar utang pajak dan biaya penagihan pajak yang menjadi dasar dilakukan penyanderaan.
  • Seluruh harta orang yang berada dalam pengampuannya dan harta pribadi pengampu yang bersangkutan yang jumlahnya mencukupi untuk melunasi seluruh utang pajak dan biaya penagihan pajak, dalam hal pejabat pajak dapat membuktikan bahwa pengampu yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut.
Gedung Direktorat Jenderal Pajak (Katadata)

8. Penanggung pajak yang menjalani penyanderaan telah berumur 80 tahun atau lebih.

9. Penanggung pajak menderita sakit berat, sehingga memerlukan perawatan dalam jangka waktu yang lama di luar tempat penyanderaan.

10. Penanggung pajak dapat dapat meyakinkan pejabat pajak, dengan membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani utang pajak dan biaya penagihan pajak.

11. Pelepasan penyanderaan dapat diberikan dengan pertimbangan untuk kepentingan umum atau pertimbangan kemanusiaan.

12. Hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Utang Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyanderaan telah daluwarsa penagihan. Artinya telah melewati jatuh tempo Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).

Demikianlah ulasan mengenai gijzeling, atau upaya penyanderaan yang dilakukan oleh aparatur perpajakan untuk memastikan pelunasan utang pajak.