Rupiah Diprediksi Melemah, Pasar Waspadai Arah Suku Bunga The Fed

Fauza Syahputra|Katadata
Petugas menunjukkan uang dolar AS dan rupiah di Dewata Inter Money Changer, Jakarta, Jumat (14/6/2024). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup di angka Rp16.412 per dolar AS, melemah 142 poin atau 0,87 persen dari perdagangan sebelumnya sebesar Rp16.270.
25/6/2024, 06.09 WIB

Nilai tukar rupiah diprediksi melemah pada hari ini setelah kemarin sukses menguat pada posisi Rp 16.394 per dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan rupiah kali ini karena dipengaruhi ketidakpastian suku bunga Bank Sentral AS, The Fed dan perang dagang Cina-Eropa.

Sejumlah analis memprediksi pelemahan rupiah hari ini. Analis Mata Uang Lukman Leong bahkan melihat peluang pelemahan rupiah pada level Rp 16.350 - Rp 16.450 per dolar AS.

"Rupiah diperkirakan akan berkonsolidasi setelah penguatan, karena investor cenderung wait and see menanti pidato beberapa pejabat The Fed pekan ini dan data inflasi PCE AS pada Jumat," kata Lukman kepada Katadata.co.id, Selasa (25/6).

Personal Consumption Expenditures (PCE) adalah laporan perdagangan Biro Analisa Ekonomi Departemen Perdagangan AS. PCE ini mengukur tingkat inflasi atau perubahan harga barang dan jasa di pasar.

Dengan kondisi ini, dia berharap Bank Indonesia (BI) melanjutkan kebijakan suku bunga tinggi dan intervensi moneter. Pemerintah bisa mendukung penguatan rupiah melalui kebijakan fiskal. "Pemerintah bisa membenahi kebijakan fiskal untuk mendukung likuiditas dan rupiah," kata Lukman.

Perang Dagang Cina - Uni Eropa

Tak berbeda dengan Lukman, Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi juga melihat peluang pelemahan rupiah hari ini berada di rentang Rp 16.380 - Rp 16.450 per dolar AS.

Menurut Ibrahim, pelemahan rupiah hari ini karena tertekan sentimen perang dagang Cina - Uni Eropa karena Cina menanggung kerugian besar setelah Uni Eropa memberlakukan tarif tinggi terhadap mobil listrik Cina. "Langkah ini bisa memicu kemarahan Beijing dan meningkatkan kemungkinan perang dagang," ujar Ibrahim.

Hal ini turut berimbas pada penurunan saham-saham Cina yang turun tajam dalam dua minggu terakhir, di mana sentimen Uni Eropa dan Asia secara keseluruhan tetap negatif. Kerugian juga terjadi di Hong Kong karena penurunan saham-saham teknologi kelas berat.

Selain perang dagang, menurut Ibrahim, data inflasi AS yang dirilis Jumat ini akan menentukan arah suku bunga The Fed. Jika data inflasi stagnan, maka Bank Sentral AS tetap menahan suku bunga.

"Apalagi, jika data PMI manufaktur bagus, data pengangguran AS berkurang, data tenaga kerja AS bagus, maka tidak mungkin The Fed menurunkan suku bunga," ujarnya.

Bagi Ibarahim, kondisi ini amat dikhawatirkan pasar karena setiap hari muncul spekulasi terkait kemungkinan penurunan suku bunga The Fed pada tahun ini.

Diketahui, The Fed kembali menahan suku bunga acuan di level 5,25%-5,50% untuk ketujuh kalinya secara beruntun pada Rabu (12/6).  The Fed belum berniat menurunkan suku bunga sampai target inflasi tercapai pada level 2%. 

Reporter: Ferrika Lukmana Sari