Menjawab Kritikan The Economist Soal Perekonomian Era Jokowi

Aleksandr Khakimullin/123rf
Penulis: Safrezi Fitra
30/1/2019, 08.25 WIB

Tiga bulan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 17 April 2019, The Economist menerbitkan sebuah artikel yang mengkritik pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla. Salah satu kritikannya soal ketidakmampuan pemerintah merealisasikan janji ekonomi Jokowi akibat terhambat kebijakan populis. Pemerintah pun langsung membantah kritikan ini dengan berbagai data.

Media ekonomi asal Inggris ini menerbitkan artikel berjudul "Indonesia's Economic Growth is Being Held Back by Populism". The Economist mengutip perhitungan Bank Dunia bahwa pertumbuhan potensial Indonesia adalah 5,5%. Potensi ini bisa diambil dengan meningkatkan investasi untuk menghidupkan sektor manufaktur, meniru negara-negara Asia lain yang menjadi bagian dari rantai pasokan global.

Pembangunan infrastruktur menjadi kunci dalam menarik investasi. Saat awal pemerintahan, Jokowi memang fokus menyelesaikan pembangunan infrastruktur yang tertunda dan belum ada. Namun, sejak tahun lalu, kebijakan anggaranya berubah arah. Fokusnya mulai terbagi, sehingga alokasi belanja modal untuk infrastruktur turun digantikan belanja subsidi. Pembenahan regulasi yang mendukung investasi juga dilakukan setengah hati.

(Baca: Pembangunan Infrastruktur Masif, Akankah Dongkrak Ekonomi?)

The Economist juga menilai tenaga kerja Indonesia kurang terampil dan selalu menuntut upah tinggi. Padahal upahnya sudah cukup tinggi, mencapai 45% melebihi tenaga kerja Vietnam yang menjadi saingan berat Indonesia dalam menarik investor, khususnya Tiongkok yang terdampak perang dagang dengan Amerika Serikat.

Sejumlah kritikan ini menjadi pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan apabila Jokowi terpilih lagi menjadi Presiden. "Kerentanan terbesar Jokowi adalah ekonomi, realisasinya belum sesuai dengan janji,” tulis The Economist dalam artikel yang diterbitkan 17 Januari lalu. Selama kampanye 2014, Jokowi menjanjikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 7% per tahun. Namun, hingga menjelang akhir masa jabatan tahun lalu, realisasinya hanya di kisaran 5%.

Menjawab kritikan media yang didirikan James Wilson sejak 1843 ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution tidak banyak berkomentar. Dia menyadari pemerintah belum berhasil merealisasikan janji kampanye Jokowi meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 7%. "Ya memang tak ada negara yang sesuai (dengan targetnya). Mana ada, coba cari! Kan memang ekonomi global sedang bergejolak," ujarnya, Jumat (25/1).

(Baca juga: Ekonomi Global Kemungkinan Lebih Lemah, Indonesia Diprediksi Stabil)

Kritikan The Economist ini cukup berdampak besar, mengingat media ini memiliki 1,5 juta pelanggan dan menjadi salah satu referensi pelaku usaha dan sejumlah kepala negara dunia. Apalagi, banyak kalangan menilai artikel-artikel di media ini merupakan suara para pelaku usaha global.

Makanya, pihak Istana juga ikut menanggapi kritikan ini. Staf Khusus Presiden Ahmad Erani Yustika mengatakan pemerintah mengapresiasi kritikan tersebut. "Namun, banyak dari kritik itu yang perlu diklarifikasi karena tidak didasarkan kepada data yang akurat dan peta komprehensif atas kemajuan ekonomi Indonesia," katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (27/1).

Meski belum mencapai target, menurut Erani, perekonomian Indonesia masih baik. Terbukti dengan pertumbuhan investasi yang terjaga. Sepanjang 2015 - 2017, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) rata-rata tumbuh 5,2% per tahun. Sementara, pada 2012-2014 pertumbuhannya rata-rata hanya 3,5% per tahun.

Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat sejak 2011 sebenarnya telah mempengaruhi laju investasi. Pada 2013, total investasi tumbuh hingga level tertinggi 27%. Namun, realisasi tersebut turun signifikan menjadi hanya 16% di tahun berikutnya dan 13% pada 2016. Laju investasi mulai pulih pada 2017 menjadi 13%.

Pertumbuhan investasi asing yang melambat bisa diimbangi dengan investasi lokal. Sejak 2016, realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) rata-rata tumbuh di atas 20%. Menurut Erani, ini tak lepas dari kebijakan yang ditempuh pemerintah seperti deregulasi dan debirokratisasi melalui implementasi perizinan Online Single Submission (OSS), peningkatan peringkat daya saing dan peringkat kemudahan usaha (ease of doing business/EoDB).

Dia juga membantah tudingan adanya deindustrialisasi di era pemerintahan Jokowi sekarang. Sebaliknya, pemerintah mendorong pembangunan kembali industri manufaktur melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ini dibuktikan dengan beberapa perusahaan negara yang sudah mampu menembus pasar internasional, seperti PT Industri Kereta Api (INKA), PT Pal, PT Dirgantara Indonesia, PT Barata Indonesia, dan PT Krakatau Steel.

(Baca Databoks: Indonesia Masuk Daftar Negara Eksportir Kereta Terbesar Dunia)

Industri unggulan mampu tumbuh positif di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Dia menyebutkan industri tersebut adalah makanan dan minuman yang tumbuh 8%, industri kimia, farmasi, dan obat 5,87%, serta industri mesin dan perlengkapan 6,06%.

Ekspor produk industri manufaktur pada semester I-2018 mencapai 71,6% dari total ekspor. Tenaga kerja sektor industri meningkat 17% dari 15 juta orang pada 2014 menjadi 18 juta orang pada 2018. Bahkan, laporan Bank Dunia pada 2017, Indonesia menempati urutan ke-5 negara dengan kontribusi industri manufaktur tertinggi, yakni 20,5 persen. Empat negara lainya adalah Tiongkok sebesar 28,8%, Korea Selatan 27%, Jepang 21%, dan Jerman 20,6%.

Menjawab kritik soal pertumbuhan ekonomi yang belum juga mencapai target 7%, Erani mengatakan perekonomian Indonesia sudah mulai membaik dan berkualitas. Pertumbuhan ekonomi mampu menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan secara bersamaan.

Selain itu, pemerintah juga berhasil melakukan pengelolaan fiskal dengan baik. Tergambar dari defisit anggaran yang masih di bawah 3% dari PDB dan utang di bawah 30% dari PDB. Indikator sektor keuangan juga masih sehat. Tingkat kredit macet (NPL) di bawah 5% dan rasio kecukupan modal perbankan (CAR) di atas 20%.

Data lain juga ditunjukkan Erani, membantah kritikan The Economist soal belanja subsidi yang kembali dinaikkan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu). Selama pemerintahan Jokowi empat tahun terakhir, belanja subsidi dipangkas cukup besar. Ini juga berlanjut pada APBN 2019.

Sepanjang 2005 - 2009, porsi belanja subsidi terhadap belanja negara mencapai 20,5% per tahun dan periode 2010-2014 rata-rata 21,6% per tahun. Sementara pada 2015-2019, subsidi hanya mengambil porsi 9,5% per tahun terhadap belanja negara. Bahkan untuk tahun ini, porsi belanja subsidi hanya 9,1% dari belanja negara. Belanja subsidi yang naik rata-rata 24,6% sepanjang 2010-2014 berbalik turun rata-rata 6% per tahun pada 2015-2019.

Kritikan lainnya soal tenaga kerja Indonesia yang dinilai kurang terampil tapi cenderung menuntut upah tinggi. Erani menyampaikan beberapa data yang menunjukkan perkembangan menggembirakan. Porsi tenaga kerja formal meningkat dari 40% pada Agustus 2014, menjadi 43% pada Agustus 2018. Sementara, porsi tenaga kerja setengah pengangguran dan pekerja paruh waktu turun dari 22,7% dan 8,4% menjadi 22% dan 8,4%. Hal ini menggambarkan kualitas tenaga kerja semakin membaik.

Produktivitas tenaga kerja Indonesia terus meningkat. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO) menunjukkan produktivitas pekerja sepanjang 2014-2018 tumbuh sebesar US$1.408 atau 18%, lebih tinggi dari periode 2009-2013 yang hanya naik US$1.122 atau 17%. (Baca: Pemerintah Siapkan Dana Pengembangan Keahlian Buat Genjot Kualitas SDM)

Selain peningkatan produktivitas, pemerintah juga berfokus pada peningkatan peningkatan kualitas SDM. Program vokasi bersama pelaku industri akan menghasilkan SDM yang siap kerja dan ahli di bidangnya. Sebagai komitmen dalam mendorong produktivitas, peningkatan upah disesuaikan dengan dengan kemampuan industri. Rata-rata upah minimum provinsi (UMP) secara nasional sepanjang 2014 - 2019 naik 60%.