Sinyal Peringatan Bisnis Fintech dari Merangkaknya Kredit Macet

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Ilustrasi fintech
Penulis: Desy Setyowati
5/10/2022, 06.30 WIB
  • Tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman maksimal 90 hari TaniFund tembus 51 %. TKB iGrow juga di atas rata-rata fintech nasional. 
  • Lender mesti memahami risiko investasi di fintech lending, termasuk mempelajari calon peminjam terlebih dulu. 
  • OJK mendorong startup bekerja sama dengan industri pendukung guna meningkatkan kualitas layanan mereka.

    Beberapa hari terakhir ini komentar negatif mengenai teknologi finansial membanjiri media sosial di Tanah Air.  Setidaknya ada tiga startup yang menjadi sorotan: TaniFund, iGrow, dan UangTeman. Perusahaan-perusahaan fintech lending tersebu didesak pemberi pinjaman untuk segera mengembalikan dana investasi mereka.

Pemberi pinjaman atau lender juga menyoroti asuransi TaniFund atas 80 persen dana yang mereka investasikan di platform. "Sekarang tidak ada sama sekali,” kata salah satu pengguna Twitter, @H1Q1S, Senin (3/10). “Mereka juga tidak transparan mengenai penyaluran dana dan penagihan,” dia melanjutkan kicauannya.

Hal senada disampaikan oleh Sunjaya. “Dari kasus-kasus yang sudah ada seperti Amartha dan TaniFund, asuransi seperti tidak bisa diklaim,” katanya, Selasa (4/10). Padahal menurut lender lainnya, Pringadi Abdi Surya melalui akun YouTube-nya, TKB 90 TaniFund sebelumnya masih 100 % hingga September 2021. 

TKB 90 adalah tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman maksimal 90 hari. TKB 90 TaniFund hanya 51,73 % per Selasa (4/10). Ini artinya, 48,27 % peminjam tak mampu membayar pinjaman alias kredit macet kurang dari 90 hari.

Investor TaniFund lainnya, William Sumoro, mengeluhkan hal yang sama. Dananya yang lebih dari Rp 100 juta masih tersangkut di startup tersebut.

TaniFund telah menyalurkan pinjaman Rp 520,72 miliar, sementara yang sudah dilunasi Rp 384,26 miliar. Kredit yang belum terbayarkan atau masih berjalan Rp 136,46 miliar.

Katadata.co.id mengonfirmasi kepada induk TaniFund yakni TaniHub mengenai keluhan warganet yang mengaku sebagai lender, sejak pekan lalu (27/9). Namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan.

TaniFund (TaniHub Group)

Selain TaniFund, lender iGrow mengeluhkan perusahaan gagal atau terlambat membayar bagi hasil pada Juli kemarin. Mereka pun memberikan rating buruk terhadap aplikasi tersebut.

iGrow merupakan penyedia layanan investasi dan pinjaman online di bidang pertanian, sama seperti TaniFund. Namun kredit macet iGrow hanya 6,29 % per hari Selasa (4/10).

Startup pinjaman online itu menyalurkan kredit Rp 625,4 miliar kepada 244 peminjam sejak awal berdiri pada 2014. Sedangkan outstanding atau kredit yang masih berjalan Rp 318,1 miliar terhadap 151 peminjam.

Lalu, ada UangTeman yang bahkan tidak dapat membayarkan gaji pegawai. Otoritas Jasa keuangan (OJK) pun sudah mencabut izin fintech lending ini.

Kata OJK Soal TaniFund dan iGrow

Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta menyampaikan, lender memang menanggung risiko jika peminjam (borrower) di fintech lending telat atau tidak membayar pinjaman.

Hal itu tertuang dalam perjanjian. “Jadi, tidak ditanggung oleh platform peer to peer lending,” kata Tris kepada Katadata.co.id, pekan lalu (27/9). Perusahaan seperti TaniFund dan iGrow hanya berkewajiban menagih cicilan kepada peminjam.

“Sebelum penyaluran pinjaman, platform P2P lending menyediakan informasi calon peminjam, termasuk hasil scoring dan memfasilitasi asuransi kredit apabila lender memilih mengasuransikan,” ujar dia.

Tris Yulianta berharap, lender membaca dan memahami risiko investasi di fintech lending sebelum memberikan pinjaman. Selain itu, pemberi pinjaman perlu mempelajari calon peminjam terlebih dulu.

Sedangkan OJK bertugas mengawasi fintech lending alias platform pinjaman online resmi. “Kami meminta mereka selektif dalam memfasilitasi pendanaan agar kualitas pinjaman tidak banyak yang macet,” katanya.

SOSIALISASI LAYANAN OJK UNTUK FINTECH (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

 

Lampu Kuning Startup Fintech Lending Indonesia

Tris Yulianta menyatakan, OJK memang belum menentukan tingkat tertentu dalam penilaian kesehatan penyaluran pinjaman. “Namun demikian, kami memonitor ketat perubahan dari tingkat wanprestasi pengembalian pinjaman alias TWP 90 (kredit macet) tersebut,” ujar Tris.

“Saat periode pandemi corona, TWP 90 bahkan pada Agustus 2020 pernah mencapai 8,88 %. Kemudian berangsur-angsur membaik,” tambah dia.

Rincian kredit macet startup fintech lending di Indonesia sejak tahun lalu:

2020 (%)2021 (%)2022
(%)Nilai
Januari3,981,782,52Rp 785,94 miliar
Februari3,921,592,35Rp 812,57 miliar
Maret4,221,322,32Rp 866,64 miliar
April4,931,372,31Rp 892 miliar
Mei5,11,542,28Rp 917 miliar
Juni6,131,532,53Rp 1,119 triliun
Juli7,991,822,67Rp 1,21 triliun
Agustus8,881,772,89Rp 1,36 triliun
September8,271,9n/an/a
Oktober7,582,13n/an/a
November7,182,24n/an/a
Desember4,782,29n/an/a

 

Sumber: Data OJK, diolah Katadata.co.id

Tris menyampaikan, ada beberapa faktor terkait perubahan TKB 90 atau TWP 90 yakni:

  1. Kemampuan platform memfasilitasi penyaluran pinjaman, sehingga dapat memengaruhi outstanding kredit dan besarnya pinjaman yang masuk dalam periode macet
  2. Kualitas credit scoring kepada calon penerima pinjaman
  3. Kualitas proses collection pinjaman yang sedang berjalan
  4. Banyaknya kerja sama dengan ekosistem seperti penyediaan fasilitas asuransi kredit dan lainnya

OJK mendorong penyelenggara fintech lending untuk menginformasikan data kualitas pinjaman di platform mereka. Ini dalam rangka transparansi dan perlindungan konsumen.

“Para konsumen dan calon konsumen dapat memonitor langsung data kualitas pinjaman platform fintech lending,” kata Tris.

Selain itu, OJK mendorong startup bekerja sama dengan industri pendukung guna meningkatkan kualitas layanan mereka. “Kami juga meminta seluruh platform memanfaatkan Fintech Data Center yang dikelola AFPI untuk memperkuat kualitas credit scoring,” ujarnya.

AFPI menyediakan fintech data center yang memuat informasi mengenai calon peminjam. Anggota dapat memakai fasilitas ini untuk mengukur risiko pinjaman sebelum memberikan kredit. 

AFPI juga memiliki anggota non-P2P lending yang merupakan pendukung layanan, seperti penyedia credit scoring dan desk collection. AFPI juga melakukan kegiatan sertifikasi dan pelatihan untuk SDM penyelenggara.

Ketua Bidang Humas AFPI Andi Taufan menilai, rasio kredit macet terjadi karena industri fintech lending tumbuh besat. “Peningkatan TWP 90 sulit dihindari,” ujar dia kepada Katadata.co.id, pekan lalu (27/9).

Ia menjelaskan bahwa non performing loan (NPL) atau kredit macet cenderung naik ketika terjadi penambahan jumlah penyaluran secara signifikan, termasuk jumlah borrower. Penyaluran pinjaman oleh fintech lending memang meningkat, rinciannya sebagai berikut:

 

Andi juga mengungkapkan bahwa peningkatan NPL bukan hanya terjadi di industri fintech lending, tetapi juga Lembaga Jasa Keuangan (LJK) lainnya. Hal ini karena masih ada efek pandemi Covid-19.

“Kredit macet di bawah 8% dapat dikatakan masih batas wajar industri fintech lending. Inilah yang harus tetap dijaga agar kualitas pembayaran tetap baik,” tambah dia.

Untuk mempertahankan kualitas kredit, para pelaku industri fintech lending pun menyiapkan algoritme dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Teknologi ini diklaim dapat meningkatkan kualitas penilaian kredit atau credit scoring guna mengukur risiko kredit dari calon peminjam yang tidak memiliki riwayat kredit.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan sejumlah faktor yang menyebabkan kredit macet melonjak, di antaranya:

  1. Inflasi, terutama setelah harga BBM naik
  2. Porsi pinjaman konsumsi yang tinggi di beberapa fintech berkorelasi dengan tingginya kasus gagal bayar
  3. Sebagian peminjam hanya mencoba-coba aplikasi tanpa membaca detail konsekuensi dari bunga dan denda, sehingga berakhir gagal bayar.

“Tren naiknya angka gagal bayar pinjaman akan membuat industri fintech melakukan konsolidasi. Sebenarnya ini seleksi alam,” ujar Bhima kepada Katadata.co.id.

Fintech lending dengan manajemen risiko yang baik, selektif dalam memilih calon peminjam, bunga wajar, dan didominasi pinjaman produktif, dinilai bisa melewati tren peningkatan kredit macet.  Sebaliknya, fintech lending yang ugal-ugalan dalam penyaluran pinjaman berpotensi tutup permanen. “Sebab, tidak bisa survive,” katanya.

Ada juga fintech yang melakukan merger dan akuisisi dengan perbankan untuk memperkuat sistem manajemen risiko.

Reporter: Lenny Septiani, Desy Setyowati