Industri Properti Tetap Jadi Andalan di Tengah Lesunya Perekonomian
Pandemi Covid-19 menempatkan industri properti sebagai salah satu sektor usaha yang paling tahan banting.
Sektor ini mengalami pertumbuhan negatif hanya di awal pandemi, atau kuartal I-2020. Setelah itu terus tumbuh dan terbukti menjadi motor pemulihan ekonomi nasional.
Menurut ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah, setelah menunjukkan perannya sebagai salah satu motor kebangkitan ekonomi Indonesia pasca Pandemi, sektor properti juga bisa diandalkan kembali untuk memacu ekonomi domestik.
Industri properti dan turunannya, lanjut Piter, bisa menjadi tumpuan di tengah kekhawatiran resesi dan perlambatan ekonomi global.
“Harus diakui, sektor properti juga memiliki kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan nilai PDB,” kata Piter.
Menurut Piter ada 5 faktor yang membuat industri properti berkontribusi terhadap ekonomi nasional. Pertama, padat modal, sektor perumahan merupakan sektor padat modal, mulai dari sisi pembangunan hingga pembiayaan.
Kedua, padat karya karena dibutuhkan sekitar 5 orang pekerja untuk pembangunan satu unit rumah atau 500 ribu pekerja untuk setiap pembangunan 100 ribu unit rumah.
Ketiga, sektor properti mendukung industri produk lokal, karena 90 persen bahan bangunan dalam konstruksi rumah merupakan produk lokal.
Keempat, mendukung penerimaan negara karena dalam setiap rumah yang terjual menghasilkan penerimaan negara dalam bentuk pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan, bea balik nama (BBN), Pajak Bumi dan Bangunan, hingga Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Kelima, sektor properti menghasilkan para wirausaha atau entrepreneur. Hal ini dilihat dari data bahwa lebih dari 7.000 pengembang yang berperan dalam penyediaan rumah di Indonesia.
“Patut dicatat bahwa industri properti berkontribusi terhadap PDB secara langsung diikuti dengan multiplier effect kepada 174 sektor lainnya,” ujarnya.
Multiplier effect atau efek domino dari sektor properti terbagi dalam 3 hal, yakni dari sisi output, income, hingga dampak terhadap pembangunan. Dampak multiplier effect ini berbeda dari setiap bank yang menyalurkan kredit ke sektor properti.
Semakin tinggi multiplier effect, maka semakin tinggi efektivitas penyaluran kredit yang dilakukan.
Seperti kajian yang dilakukan oleh PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN), dari setiap Rp 1 yang dikeluarkan untuk sektor perumahan akan menciptakan output pada ekonomi sebesar Rp 2,15.
Oleh karena itu, misalkan dilakukan penempatan dana sebesar Rp 20 triliun yang disalurkan untuk sektor perumahan akan berdampak pada peningkatan output ekonomi nasional sebesar Rp 43 triliun.
Berikutnya dari sisi income multiplier, setiap Rp1 yang dikeluarkan untuk sektor perumahan akan menciptakan tambahan penghasilan pada pekerja sektor perumahan sebesar Rp0,76.
Oleh karena itu, jika dilakukan penempatan dana sebesar Rp 20 triliun yang disalurkan untuk sektor perumahan akan berdampak pada peningkatan penghasilan pekerja pada sektor perumahan sebesar Rp15,2 triliun.
Sementara itu, dari sisi dampak terdapat pembangunan, KPR yang disalurkan melalui Bank BTN lebih besar dibandingkan KPR melalui bank lainnya secara nasional.
KPR Bank BTN juga terbukti lebih efektif dalam menumbuhkan beberapa komponen pembentuk ekonomi nasional seperti konsumsi rumah tangga, investasi, konsumsi pemerintah dan net ekspor, serta penyerapan tenaga kerja.
“Besarnya multiplier effect dari KPR BTN, menunjukan pemerintah harus mendukung BTN dari sisi permodalan. Setiap modal yang dikeluarkan oleh pemerintah akan kembali lagi menjadi pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Piter.
Penambahan modal BTN melalui skema rights issue direncanakan digelar pada tahun ini. Pemerintah pun akan ikut serta dalam rights issue ini melalui penyertaan modal negara (PMN) senilai Rp 2,98 triliun.
Melalui PMN tersebut, maka kepemilikan pemerintah di BTN akan terjaga di 60 persen.
“Yang paling penting dari PMN ini adalah meningkatkan kemampuan BTN dalam membiayai rumah bersubsidi ke segmen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Segmen inilah yang langsung menikmati tambahan modal BTN,” kata Piter.
Haru Koesmahargyo, Direktur Utama BTN mengatakan penambahan modal akan meningkatkan kemampuan bank menyalurkan kredit sehingga dapat menekan angka backlog perumahan terutama di segmen MBR.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, angka backlog kepemilikan perumahan mencapai 12,75 juta.
"Pemerintah sangat mendukung BTN. Saat ini lebih banyak lagi masyarakat yang membutuhkan rumah yang harus didukung, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.
Tambahan PMN akan menambah kecepatan kami menyalurkan pembiayaan. Kalau tanpa PMN tetap bisa ekspansi tetapi akan lebih lambat," ujar Haru pada Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI pekan lalu.
Menurut hitungan BTN, setiap penambahan modal sebesar Rp 1 triliun maka akan menghasilkan kemampuan mendorong penyaluran kredit sekitar Rp 12 triliun.
Dengan rencana PMN Rp 2,98 triliun yang mewakili 60 persen saham pemerintah di BTN maka total tambahan modal yang bisa didapat perseroan dari rights issue akan mencapai sekitar Rp 4,9 triliun.
Sehingga tambahan PMN yang diberikan pemerintah itu bisa meningkatkan kapasitas kredit hingga Rp 58,8 triliun. Angka itu didapat dengan mengkalikan Rp4,9 triliun dengan Rp 12 triliun.
“Modal atau equity merupakan harta pemegang saham yang menjadi penyangga apabila terjadi risiko kerugian kredit macet. Oleh karena itu, BTN tetap membutuhkan likuiditas dari dana masyarakat maupun pasar modal untuk melakukan ekspansi kredit,” katanya.
Dalam menurunkan angka backlog perumahan, pemerintah juga memberikan bantuan likuiditas kepada perbankan lewat program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk membiayai rumah subsidi.
Dengan program itu, pemerintah memberikan bantuan likuditas dalam KPR rumah subsidi sebesar 75 persen dan 25 persen sisanya berasal dari Dana Pihak Ketiga (DPK) bank.
Tahun ini, pemerintah memberikan kuota FLPP sebanyak 200.000 unit atau senilai Rp 28 triliun. Itu meningkat dari realisasi 2021 yang mencapai 178.728 unit.