Tiga Revisi Aturan Kontroversial di Masa Akhir Anggota Dewan

Dimas Jarot Bayu
20 September 2019, 11:19
Tiga Revisi Aturan Kontroversial di Masa Akhir Anggota Dewan
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
DPR menyelenggarakan rapat paripurna ke-22 masa persidangan V Tahun 2018-2019, pada Selasa (16/7/2019). Pimpinan sidang, Wakil Ketua MPR Agus Hermanto menyatakan, hanya 85 anggota dewan yang hadir sementara 220 izin. Dari total anggota dewan sebanyak 560 orang. Sementara 255 orang tak ada izin.

Revisi Undang-Undang Pemasyarakatan

Revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bakal dibawa ke sidang paripurna setelah disepakati oleh DPR dan pemerintah dalam rapat kerja pada Selasa (17/9) malam. RUU Pemasyarakatan banyak dikritik karena menghapuskan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut terdapat syarat bahwa koruptor harus menjadi justice collaborator untuk pembebasan bersyarat dan remisi. Hilangnya aturan ini berarti koruptor tak memerlukan rekomendasi penegak hukum untuk pembebasan bersyarat dan remisi, namun dikembalikan ke pengadilan.

Pakar Hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai RUU Pemasyarakatan seolah membuat tindak pidana korupsi seperti tindak pidana umum. Padahal, tindak pidana korupsi merupakan bentuk kejahatan luar biasa. “Dulu kenapa remisi diperketat, supaya orang jera terhadap korupsi,” kata Fickar.

Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Aturan ketiga yang meringankan hukuman koruptor yakni revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Revisinya disepakati DPR dan pemerintah dalam rapat kerja pada Rabu (18/9) untuk dibawa ke sidang paripurna.

Setidaknya ada tiga pasal pidana dan denda bagi koruptor yang lebih ringan dalam revisi KUHP ketimbang UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ketiga pasal itu yakni 604, 605, dan 607 ayat (2).

Dalam Pasal 604 revisi KUHP, denda bagi seseorang yang memperkaya diri serta merugikan keuangan negara paling sedikit Rp 10 juta. Padahal, Pasal 2 UU Tipikor menetapkan denda bagi orang yang memperkaya diri serta merugikan keuangan negara paling sedikit Rp 200 juta.

Sementara di Pasal 605 revisi KUHP, denda bagi seseorang yang menyalahgunakan wewenang dan merugikan keuangan negara paling sedikit Rp 10 juta. Padahal, Pasal 3 UU Tipikor menetapkan denda bagi seseorang yang menyalahgunakan wewenang dan merugikan keuangan negara paling sedikit Rp 50 juta.

(Baca: DPR Akui Pengaturan Sanksi Pidana dalam RKUHP Belum Sempurna)

Adapun Pasal 607 ayat (2) revisi KUHP menyebutkan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap dipidana paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Padahal dalam Pasal 11 UU Tipikor, pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap paling lama lima tahun. Adapun denda bagi mereka paling banyak Rp 250 juta.

Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menilai ketiga pasal dalam RKUHP itu rentan disalahgunakan untuk membela koruptor karena akan memunculkan duplikasi dengan sanksi pidana dan denda dalam UU Tipikor. Sehingga penegak hukum memiliki pilihan dalam memberikan sanksi . “Ini bisa membingungkan dan rentan penyalahgunaan agar pidana dan denda koruptor diringankan,” ujar Agustinus.

Halaman:
Reporter: Dimas Jarot Bayu
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...