Demo Buruh di DPR, Tuntut Pembatalan UU Cipta Kerja dan Kenaikan Upah

Rizky Alika
9 November 2020, 15:26
Sejumlah buruh dari berbagai konfederasi mengikuti aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (30/9/2020). Dalam aksinya para buruh dari 62 konfederasi tersebut menolak RUU Omnibus Law Cipta
ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.
Sejumlah buruh dari berbagai konfederasi mengikuti aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (30/9/2020). Dalam aksinya para buruh dari 62 konfederasi tersebut menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja karena dinilai merugikan buruh dan berpihak pada kepentingan investor, serta berencana akan melakukan aksi mogok kerja nasional pada 6-8 Oktober 2020.

Ketentuan lain yang diuji adalah penghapusan Pasal 64 dan 65 dalam UU Cipta Kerja. Dua pasal tersebut membahas tentang pekerjaan Borongan. Selain itu, pasal lain yang dibawa ke MK adalah Pasal 66 yang mengatur pekerja alih daya (outsource).

Pasal 77 juga akan diuji oleh Hakim Konstitusi terutama mengenai penjelasan beleid tersebut. Dia beralasan dalam penjelasan di UU 13, ketentuan waktu kerja yang diatur yakni 7 jam sehari dan 8 jam tidak berlaku pada beberapa jenis bidang kerja seperti lepas pantai dan angkutan umum.

Namun definisi pekerjaan tersebut hilang dalam UU Cipta Kerja. “Khawatirnya pekerja hanya dipekerjakan setengah hari dan upahnya hanya dibayar separuh,” kata Kahar.

Pasal lain adalah Pasal 79 ayat 5 yang mengatur pemberian istirahat panjang alias cuti dalam perjanjian kerja bersama. Berikutnya adalah Pasal 88 C Ayat 2 bahwa Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

“Ayat kedua disebutkan kata ‘dapat’, frasa itu berpotensi bermasalah,” kata Kahar. Buruh juga menguji penghapusan Pasal 89 ke MK untuk diuji secara materi.

Dalam UU 13 Tahun 2003, pasal ini membahas tentang upah minimum sektoral. Begitu pula Pasal 156 yang mengatur soal pesangon bagi pekerja yang terkena Pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Pasal ini seluruhnya lima ayat dan kami ajukan,” kata Kahar.

Tak hanya itu, serikat pekerja juga menguji Pasal 46A UU Ciptaker yang mengatur Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Kahar mengatakan alasannya adalah agar pasal ini mengatur jaminan bagi pekerja alih daya hingga yang bukan anggota Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

“Yang hilang pekerjaan bukan karena PHK harusnya juga dapat (JKP),” kata Kahar.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...