Kisah Perawat Terpapar Corona dari Pasien yang Alami Stigma Covid-19

Dini Hariyanti
7 Maret 2021, 14:15
Warga melintas di bawah poster penolakan tempat karantina di objek wisata Rembangan, Desa Kemuning Lor, Arjasa, Jember, Jawa Timur, Selasa (31/3/2020). Warga Desa Kemuning Lor menolak dijadikannya Hotel Rembangan di lokasi wisata tersebut sebagai tempat k
ANTARA FOTO/Seno/wsj.
Warga melintas di bawah poster penolakan tempat karantina di objek wisata Rembangan, Desa Kemuning Lor, Arjasa, Jember, Jawa Timur, Selasa (31/3/2020). Warga Desa Kemuning Lor menolak dijadikannya Hotel Rembangan di lokasi wisata tersebut sebagai tempat karantina Orang Dalam Pemantauan (ODP) COVID-19 karena tempat itu bersuhu dingin, berada di ketinggian dan dikhawatirkan limbah medisnya mencemari air.

Stigma yang melekat kepada penyakit Covid-19 termasuk penderita, penyintasnya, dan tenaga kesehatan (nakes) membuat upaya penanganan pandemi menjadi semakin kompleks. Pasalnya, stigma sosial menyebabkan perilaku diskriminatif, seperti pengusiran bahkan pengucilan.

Satgas Penanganan Covid-19 menyatakan bahwa lantaran enggan berhadapan dengan stigma tersebut maka penderita memilih menyembunyikan kondisi kesehatannya. Sikap ini sebetulnya justru semakin menghalangi seorang penderita Covid-19 dari akses layanan kesehatan yang tepat.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, yang dimaksud stigma sosial dalam konteks kesehatan adalah pengaitan negatif antara seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kesamaan ciri dan penyakit tertentu.

Dalam suatu wabah, stigma sosial berarti orang-orang diberi label, distereotipkan, didiskriminasi, diperlakukan secara berbeda, dan/atau mengalami kehilangan status karena dianggap memiliki keterkaitan dengan suatu penyakit.

Perlakuan semacam itu dapat berdampak negatif bagi mereka yang menderita penyakit, pemberi perawatan, keluarga, teman, maupun komunitas mereka. Orang yang tidak mengidap penyakit tersebut tetapi memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok ini mungkin juga mengalami stigma.

WHO membenarkan bahwa wabah Covid-19 saat ini memicu stigma sosial dan perilaku diskriminatif terhadap orang-orang dari latar belakang etnis tertentu, serta siapa pun yang diduga pernah berkontak dengan virus tersebut. Sebetulnya wajar jika ada kebingungan, kecemasan, dan ketakutan di kalangan masyarakat terkait Covid-19. Sayangnya, faktor-faktor ini turut memicu stereotip yang merugikan.

Banyaknya stigma yang melekat kepada Covid-19 dipengaruhi berapa hal, yaitu penyakit ini terbilang baru dan masih banyak yang belum memahami. Selain itu, masyarakat rentan mengalami rasa takut terhadap apa yang tak dipahaminya. Dan, ketakutan yang ada mudah dikaitkan dengan 'orang lain'.

Stigma perlu dilawan bersama. Caranya dengan mulai membekali diri dengan informasi yang akurat, mengenali sumber informasi terpercaya untuk hindari kesalahpahaman, gosip, dan informasi keliru yang sebabkan stigma dan diskriminasi. Selayaknya kita menumbuhkan rasa saling peduli di tengah masa pandemi ini.

Halaman:

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...