Pakta Integritas Parpol Tolak Korupsi Dinilai Cuma Janji Jelang Pemilu

Aryo Widhy Wicaksono
30 Juni 2022, 06:05
Pegiat antikorupsi dari ICW dan Gerakan #Bersihkan Indonesia melakukan aksi teaterikal "Habis Gelap Tak Kunjung Terang: Runtuhnya Pemberantasan Korupsi" di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (8/12/2021).
ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU
Pegiat antikorupsi dari ICW dan Gerakan #Bersihkan Indonesia melakukan aksi teaterikal "Habis Gelap Tak Kunjung Terang: Runtuhnya Pemberantasan Korupsi" di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (8/12/2021).

Sikap skeptis tersebut bukan hanya karena suara ini lantang menjelang Pemilu, tetapi juga karena kurangnya aksi nyata mereka untuk mendukung ucapannya. Menurut Agus, pada beberapa kesempatan partai politik justru abai terhadap keberadaan KPK. Lembaga yang telah menjadi simbol utama gerakan antikorupsi di Indonesia.

Dia pun mengungkit beberapa persoalan yang dinilai ICW melemahkan KPK, tetapi tidak ada partai politik yang bergerak melawan. Seperti halnya ketika partai politik setuju untuk merevisi Undang-Undang KPK, atau saat 57 pegawai KPK dipecat.

Kemudian ketika Pimpinan KPK mendapatkan sanksi dari Dewan Pengawas (Dewas) karena melanggar kode etik, seperti Ketua KPK Firli Bahuri dan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, partai politik pun mendiamkan.

"Karena memang mereka ingin KPK dipimpim pimpinan yang lemah, sampai Harun Masiku saja sampai sekarang enggak ketemu," ucapnya.

Lalu kenapa partai politik seolah-olah membiarkan praktik korupsi ini terjadi, padahal berkali-kali menyatakan komitmen dan menandatangani pakta integritas?

Menurut Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal, lingkaran korupsi kerap terjadi karena sistem politik di Indonesia mirip pasar bebas. Hal ini terlihat dengan cara Partai politik dibebaskan mencari dana secara swadaya.

Imbasnya, setiap partai pun harus bertarung dengan sesama, memperebutkan sumber dana dari berbagai ceruk yang tersedia. "Akhirnya terbentuk suatu kondisi mereka harus membayar ongkos politik yang tinggi," jelas Nicky, saat dihubungi Rabu (29/6).

Persoalan lainnya adalah mengenai sistem kaderisasi di partai politik, umumnya berjalan secara prosedural. Pada akhirnya, hal ini membuat kader pun melihat partai politik sebagai formalitas, sebuah kendaraan untuk mencapai tujuan politiknya.

Kondisi ini membuat kader juga melihat cita-cita partai, atau nilai-nilai kenegarawanan sebagai formalitas. "Kalau formalitas belaka, nilai politik yang berorientasi pada kesejahteraan umum, keadilan, itu juga menjadi formalitas. karena kader tidak melembaga dengan partai politik," ucapnya.

Pada akhirnya, menciptakan sebuah siklus di kalangan kader partai politik. Setelah menjabat atau berkuasa, korupsi.

Untuk menghentikannya, Nicky melihat peran negara mesti ditingkatkan. Salah satunya dengan memberikan porsi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Neegara (APBN) yang lebih besar kepada partai politik.

Hal ini ia yakini dapat mengurangi korupsi politik, karena beban partai untuk memenuhi ongkos Pemilu juga berkurang.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, kepada partai politik di tingkat pusat yang mendapatkan kursi di DPR, negara memberikan bantuan sebanyak Rp 1.000 untuk setiap suara sah. Sedangakan untuk di tingkat provinsi sebesar Rp 1.200, dan di tingkat kabupaten/kota sebesar Rp 1.500.

Dana ini mesti diprioritaskan untuk biaya pendidikan politik dan operasional sekretariat partai politik.

Tetapi hal yang paling utama, kata Nicky, adalah reformasi di tubuh partai secara internal. Tanpa ada kesadaran itu, mustahil praktik korupsi dapat dihapuskan.

Jika melihat data sepanjang 2021, total terdapat 77 terdakwa yang divonis terlibat korupsi suap dan gratifikasi di Indonesia. Menurut Laporan Hasil Pemantauan Tren Vonis 2021 dari ICW, total nilai suap dan gratifikasi yang melibatkan seluruh terdakwa itu mencapai sekitar Rp369,47 miliar.

ICW juga mencatat ada 6 terdakwa penerima suap terbesar sepanjang 2021. Mayoritas atau 4 orang di antaranya berasal dari kalangan partai politik.

Menurut Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lalola Easter Kaban, komitmen partai politik secara kelembagaan masih lemah, meski kerap menyuarakan antikorupsi. Buktinya, partai politik masih menjalankan praktik korupsi, terutama menjelang pelaksanaan Pemilu. Hal ini terlihat dengan masih adanya praktik politik uang, yang dikemas dalam beragam bentuk saat menjelang hari pemungutan suara.

"Pada dasarnya partai politik memang belum mau mereformasi diri dalam hal pendanaan partai politik dan pendanaan pencalonan kader," jelasnya Selasa (29/6).

Halaman:
Reporter: Aryo Widhy Wicaksono
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...