12 Alasan Aliansi Masyarakat Sipil Tolak Pengesahan RUU KUHP oleh DPR

Ira Guslina Sufa
6 Desember 2022, 08:54
RUU KUHP
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Aliansi Nasional Reformasi KUHP menggelar aksi penolakan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dengan tabur bunga di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin, (5/12).

“Aturan ini lagi-lagi menjadi aturan yang tajam ke bawah, tumpul ke atas karena mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja,” ujar Adhitya lagi. 

Sementara itu Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan tak mempersoalkan bila masih ada kelompok masyarakat yang menolak pengesahan RUU KUHP. Yasonna mempersilakan kelompok yang menolak untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi setelah RUU disahkan menjadi undang-undang. 

"Kalau pada akhirnya tidak setuju, daripada kita harus pakai UU KUHP Belanda yang sudah ortodoks, dan dalam KUHP ini sudah banyak yang reformatif, bagus. Kalau ada perbedaan pendapat, nanti kalau sudah disahkan, gugat di MK, itu mekanisme konstitusional," kata Yasonna seperti dikutip dari Antara, Selasa (6/12). 

 Adapun alasan penolakan pengesahan draf akhir RKUHP oleh jaringan masyarakat sipil adalah sebagai berikut:

  1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat: Aturan ini dinilai merampas kedaulatan masyarakat adat. Frasa “hukum yang hidup di masyarakat” diyakini berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu.
  2. Pasal terkait pidana mati: Banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Selain itu, jaringan masyarakat sipil menilai banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi. 
  3. Penambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum: Pasal ini dinilai berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”.
  4. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara: Pasal ini dinilai berpotensi menjadi pasal karet dan menjadi pasal anti demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata “penghinaan”. 
  5. Contempt of court:  Tidak ada penjelasan yang terang mengenai frasa “penegak hukum” sehingga pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa. 
  6. Kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan: Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri”. Pasal ini dinilai berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat. 
  7. Penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE
  8. Larangan unjuk rasa: Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat terkait “kepentingan umum” karena frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya.
  9. Memutihkan dosa negara dengan penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat:  Dalam naskah terakhir dari RKUHP, negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini. Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP menandakan bahwa segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili.
  10. Mempidana korban kekerasan seksual: Adanya pasal yang mengatur kohabitasi berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual. 
  11. Meringankan ancaman bagi koruptor: Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor yang dimana tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat. 
  12. Korporasi sebagai entitas sulit dijerat: Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi. Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus. Kecil kemungkinannya korporasi bertanggung jawab sebagai entitas.

12.Korporasi sebagai entitas sulit dijerat: Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi. Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus. Kecil kemungkinannya korporasi bertanggung jawab sebagai entitas.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...