Aturan Speaker Masjid yang Kontroversial

Safrezi Fitra
13 Maret 2024, 15:46
Aturan Speaker Masjid, pengeras suara masjid, toa masjid, tarawih, tadarus
ANTARA FOTO/Makna Zaezar/Spt.
Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan aturan mengenai penggunaan pengeras suara atau speaker di masjid dan musala selama bulan Ramadan.

Berikut penjelasan aturannya SE Menag Nomor 1 tahun 2024:

1. Umat Islam diimbau untuk tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dan toleransi dalam menyikapi potensi perbedaan penetapan 1 Ramadan 1445 Hijriah/2024 Masehi.
2. Umat Islam melaksanakan ibadah Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri sesuai dengan syariat Islam dan menjunjung tinggi nilai toleransi.
3. Umat Islam dianjurkan untuk mengisi dan meningkatkan syiar pada bulan Ramadan dengan tetap mempedomani Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
4. Umat Islam diimbau untuk melaksanakan berbagai kegiatan di masjid, musala, dan tempat lain dalam rangka syiar Ramadan dan menyampaikan pesan-pesan taqwa serta mempererat persaudaraan sesama anak bangsa.
5. Takbiran Idul Fitri dilaksanakan di masjid, musala, dan tempat lain dengan ketentuan mengikuti Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
6. Takbir keliling dilakukan mengikuti ketentuan pemerintah setempat dan aparat keamanan dengan tetap menjaga ukhuwah Islamiyah.
7. Salat Idul Fitri 1 Syawal 1445 Hijriah/2024 Masehi dapat diadakan di masjid, musala, dan lapangan.
8. Materi ceramah Ramadan dan khutbah Idul Fitri disampaikan dengan menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah, mengutamakan nilai-nilai toleransi, persatuan dan kesatuan bangsa, serta tidak bermuatan politik praktis sesuai dengan Surat Edaran Menteri Agama Nomor 09 Tahun 2023 tentang Pedoman Ceramah Keagamaan.
9. Mengimbau kepada umat Islam untuk lebih mengoptimalkan zakat, infak, wakaf, dan sedekah di bulan Ramadan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.

Menurut Juru Bicara Kemenag Anna Hasbie, edaran ini tidak melarang menggunakan pengeras suara. Tadarus Al-Qur'an menggunakan pengeras suara untuk jalannya syiar. Namun, demi kenyamanan bersama, pengeras suara yang digunakan cukup menggunakan speaker dalam.

"Ini juga bukan edaran baru, sudah ada sejak 1978 dalam bentuk Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978. Di situ juga diatur bahwa saat Ramadan, siang dan malam hari, bacaan Al-Qur'an menggunakan pengeras suara ke dalam," ujarnya.

Tanggapan NU, Muhammadiyah, dan Dewan Masjid

Di luar perdebatan yang terjadi di masyarakat, organisasi islam seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, hingga Dewan Masjid Indonesia (DMI) justru mendukung aturan mengenai penggunaan speaker di masjid dan musala selama Ramadan tahun ini.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai penggunaan pengeras suara bisa disesuaikan dengan kondisi di sekitar masjid. Ini untuk menjaga toleransi beragama di lingkungan yang majemuk.

"Saya kira ini bisa menyesuaikan dengan kondisi dan kearifan lokal, masyarakat yang hidup dalam lingkungan majemuk perlu menjaga toleransi dan kerukunan," kata Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur kepada wartawan, Senin (11/3).

Namun, menurutnya penerapan imbauan itu tidak bisa begitu saja diterapkan di setiap masjid. Dia mencontohkan dengan situasi di lingkungan pesantren dan pedesaan dengan mayoritas penduduk Islam, aturan ini bisa lebih longgar.

Sementara itu PP Muhammadiyah memahami dan mengapresiasi aturan tersebut. Bahkan Sekretaris Umum PP Muhammmadiyah, Abdul Mu'ti mengatakan di masjid-masjid Muhammadiyah sudah sejak awal tidak ada salat tarawih dan tadarus Al-quran dengan menggunakan speaker luar.

"Syiar Ramadan tidak bisa diukur dari sound yang keras, tapi dari kekhususan ibadah yang ikhlas," ujarnya, Senin (11/3).

Dewan Masjid Indonesia (DMI) telah mengimbau anggota-anggota terkait aturan penggunaan speaker dalam masjid ini sejak tahun lalu. DMI juga meminta agar imbauan Menteri Yakut soal penggunaan pengeras suara dalam masjid ketika tadarus dan tarawih tidak disalahpahami. Menurutnya, imbauan itu bukan berarti untuk membatasi.

"Saya kira yang dimaksud lebih sebagai untuk mempertahankan kesyahduan dalam terutama kehidupan perkotaan yang sangat heterogen dalam perspektif keyakinan keagamaan dan juga karena pola kehidupan sosial ekonomi yang teknokratis dengan periode jam kerja dan kualitas waktu istirahat," kata Sekjen DMI Imam Addaruqutni, Senin (11/3).

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...