Buat Beragam Layanan, Bukalapak Siap Saingi Superapp Gojek dan Grab?

Desy Setyowati
5 Oktober 2020, 11:30
Buat Beragam Layanan, Bukalapak Siap Saingi Superapp Gojek dan Grab?
Aleksandr Khakimullin/123rf
Ilustrasi superapp

“Itu agar konsumen dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka dari hulu ke hilir (end-to-end) di platform kami setiap hari,” kata Gicha kepada Katadata.co.id, akhir pekan lalu (2/10). Ini sejalan dengan misi perusahaan yakni a Fair Economy for All.

Pendiri Blackberry Mike Lazaridis sempat menyampaikan definisi superapp pada 2010. Saat itu, ia menilai bahwa aplikasi super adalah ekosistem tertutup dari banyaknya aplikasi yang akan digunakan orang setiap hari.

Beragam layanan itu tersedia di dalam satu aplikasi. Jika merujuk pada definisi tersebut, Bukalapak membangun superapp.

CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro sepakat bahwa unicorn itu mengembangkan superapp. “Bukalapak bisa disebut sebagai superapp, karena memberikan layanan yang terdiversifikasi,” kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (5/10).

Ia menilai, langkah itu bertujuan cross-selling atau menjual produk baru pada pelanggan yang sudah ada. Selain itu, untuk menjaga pengguna setia dan meningkatkan transaksi, sehingga mempercepat upaya perusahaan meraup untung.

Teddy memang sempat menyampaikan bahwa perusahaan tak lagi mengandalkan strategi promosi atau 'bakar uang' untuk mendorong transaksi. Bukalapak berfokus pada pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan.

Dengan cara itu, pendapatan sebelum bunga, pajak, dan amortisasi (EBITDA) Bukalapak pada kuartal II tumbuh 60% dibandingkan 2018. “Kami cari solusi dan inovasi yang diperlukan masyarakat," kata Teddy, pertengahan bulan lalu (11/9). "Kami mengurangi bakar uang masif, dan pangsa pasar relatif stabil.”

CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin menambahkan, perusahaan tak lagi ‘ngoyo’ mengejar tingkat kunjungan dalam dua tahun terakhir. “Kami tidak bisa selalu berfokus pada pertumbuhan saja, sementara solusinya tak menghasilkan nilai tambah yang berkelanjutan," ujarnya.

Apalagi Bukalapak berencana mencatatkan saham perdana (Initial Public Offering/IPO) di bursa efek. "Wajar jika startup ingin IPO. Ini sejalan dengan cita-cita kami untuk tumbuh berkelanjutan," katanya.

Rachmat optimistis perusahaan bisa mendapatkan akses pasar potensial dengan IPO.

Associate Professor di Department of Strategy & Policy di National University of Singapore (NUS) Business School Nitin Pangarkar mengatakan, ada tiga faktor untuk mengukur prospek bisnis superapp. Pertama, kematangan pasar.

Jumlah pengguna ponsel pintar (smartphone) dan kecepatan internet menjadi pertimbangan. Di Indonesia, jumlahnya dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:

Namun, Nitin menilai bahwa kematangan pasar juga bergantung pada tingkat persaingan dan pemain mapan di pasar. “Semakin matang pasar, terutama terkait pemain mapan, maka semakin sulit bagi perusahaan yang belum menjadi superapp, untuk membuat aplikasi super yang kredibel seperti WeChat di Tiongkok,” ujar dia dikutip dari Business Times, September tahun lalu (12/9/2019).

Kedua, medan pertempuran yang dipilih oleh superapp. “Setiap negara memiliki konteks berbeda dan mungkin memerlukan pendekatan yang disesuaikan,” kata Nitin.

Ia menyampaikan, perusahaan harus menemukan ‘layanan jangkar’ yang dapat menghasilkan pendapatan dan keuntungan signifikan. “Jika calon tidak dapat menemukannya, mungkin sia-sia untuk mencoba menjadi superapp,” ujar dia.

Ketiga, cara membangun superapp yakni dengan membuat sendiri layanannya atau bermitra. Grab mengadopsi model kemitraan, sehingga kebutuhan sumber dayanya lebih rendah. “Namun model ini kurang menguntungkan, karena sebagian besar profit akan diberikan kepada penyedia layanan,” katanya.

Sedangkan bank investasi asal Tiongkok, China Renaissance menyebutkan ada dua layanan yang bisa membuat Gojek dan Grab untung. Keduanya yakni pesan-antar makanan dan pembayaran.

“Ketika keduanya menyatakan kepada publik bahwa pesan-antar makanan adalah kunci profitabilitas mereka, kami percaya e-wallet dapat menjadi aspek paling penting dalam mencapai keuntungan,” demikian kata China Renaissance dalam laporannya, dikutip dari Tech In Asia, akhir pekan lalu (31/7).

Bank investasi itu menilai, Gojek dan Grab bisa meniru cara Alipay untuk meraup untung. Raksasa fintech ini membukukan laba sebelum pajak US$ 611 juta pada kuartal I 2020.

Alipay bahkan menyumbang 25% dari laba bersih Alibaba pada kuartal pertama. Alibaba memiliki 33% saham Alipay.

“Jika Gojek dan Grab meniru model Alipay, kami pikir keduanya mungkin dapat memanfaatkan basis setoran mereka untuk menawarkan pinjaman dan berpotensi menghasilkan laba," demikian dikutip dari laporan itu.

Berdasarkan kajian Google, Temasek dan Bain pada tahun lalu, nilai dari layanan keuangan digital di Asia Tenggara diproyeksi US$ 38 miliar sampai US$ 60 miliar (Rp 554,2 triliun-Rp 875 triliun) per tahun pada 2025. Ini mencakup bank, penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP), asuransi, manajemen aset hingga fintech.

Secara spesifik, nilai bisnis sektor pembayaran digital di regional diperkirakan melebihi US$ 1 triliun pada 2025.

Sedangkan khusus untuk Indonesia bisa terlihat pada Databoks berikut:

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...