Ada Aturan Baru Facebook, Google, Twitter Ancam Keluar dari Hong Kong

Fahmi Ahmad Burhan
7 Juli 2021, 09:20
Dua orang membuka laman Google dan aplikasi Facebook melalui gawainya di Jakarta, Jumat (12/4/2019). Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Badan Usaha Tetap (BUT) untuk mengejar pemasukan pajak dari perusahaan asing yang berbasis di lu
ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Dua orang membuka laman Google dan aplikasi Facebook melalui gawainya di Jakarta, Jumat (12/4/2019). Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Badan Usaha Tetap (BUT) untuk mengejar pemasukan pajak dari perusahaan asing yang berbasis di luar negeri namun bertransaksi dan memperoleh penghasilan di Indonesia termasuk perusahaan-perusahaan besar 'Over The Top' (OTT) atau daring seperti Google, Facebook, Youtube dan lain-lain.

Beberapa raksasa teknologi global seperti Facebook, Google, dan Twitter mengancam meninggalkan Hong Kong karena adanya perubahan aturan data pribadi dan doxing (tindak kejahatan digital). Ketiganya, melalui koalisi internet Asia atau Asia Internet Coalition (AIC) menganggap aturan itu memberatkan dan terlalu berlebihan untuk diterapkan.

Ancaman mundurnya raksasa teknologi dari Hong Kong terungkap melalui surat yang dirilis ke publik pekan ini oleh AIC. Kemudian koalisi juga mengirimkan surat tersebut kepada otoritas yang menaungi perlindungan data pribadi di Hong Kong.

AIC merupakan koalisi perusahaan teknologi berbasis di Singapura. AIC menaungi 15 perusahaan teknologi, termasuk Facebook, Google, hingga Twitter.

Managing director AIC Jeff Paine mengataka, pihaknya prihatin dengan perubahan aturan yang diusulkan otoritas Hong Kong. Sebab, perubahan aturan itu berpotensi menimbulkan salah interpretasi yang terlalu luas terhadap aktivitas penggunaan data yang selama ini dilakukan oleh raksasa teknologi itu.

Dikhawatirkan, setelah perubahan aturan disahkan, tindakan berbagi informasi secara daring dapat dianggap melanggar hukum.

AIC berpandangan, apabila perubahan aturan itu diperkenalkan, akan menempatkan staf perusahaan pada risiko hukuman penjara. Sedangkan, platform digital seperti Facebook, Google, dan Twitter rawan terhadap investigasi kriminal.

Aturan itu juga melarang tindakan doxing yang kerap terjadi di platform digital. Doxing merupakan tindakan berbasis internet yang dilakukan dengan cara meneliti atau menyebarluaskan informasi pribadi seseorang atau organisasi secara publik.

Dalam aturan perubahan di Hong Kong, dijelaskan bahwa setiap orang yang menyediakan layanan digital harus menerima pemberitahuan yang mengarahkan platform online untuk memperbaiki konten doxing. Apabila aturan dilanggar, perusahaan teknologi penyelenggara platform bakal dikenakan denda hingga US$ 128.700 atau setara Rp 1,86 triliun dan hukuman penjara hingga lima tahun.

Padahal menurut Jeff, penuntutan platform digital atas pelanggaran doxing tidak proporsional dan tidak perlu dilakukan. Sebab, platform digital sifatnya netral dan tidak memiliki kontrol editorial atas postingan penggunanya yang mengarah pada tindakan doxing.

"Maka, satu-satunya cara untuk menghindari sanksi bagi perusahaan teknologi ini adalah dengan menahan diri dari berinvestasi dan menawarkan layanan mereka di Hong Kong," kata Jeff dikutip dari CNN Internasiona, Selasa (6/7).

Jeff juga berpandangan bahwa aturan itu bisa merampas bisnis dan hak konsumen di Hong Kong. "Aturan ini akan menciptakan hambatan baru untuk perdagangan," ujarnya.

Kantor Komisaris Privasi untuk Data Pribadi (PCPD) Hong Kong menyatakan sudah menerima surat dari koalisi. Otoritas menjelaskan, aturan diubah karena tindakan doxing telah merajalela. Antara Juni 2019 hingga Mei 2021, sudah lebih dari 5.700 kasus terkait doxing ditangani otoritas. 

Selain itu, otoritas menambahkan bahwa perubahan undang-undang tidak akan berpengaruh pada kebebasan berekspresi dan menghalangi investasi. "Dengan keras kami membantah setiap saran bahwa perubahan aturan itu dapat dengan cara apa pun mempengaruhi investasi asing di Hong Kong," kata PCPD.

Diketahui, tahun lalu perselisihan antara perusahaan teknologi global dengan Hong Kong juga terjadi. Pada Juli 2020 pemerintah Tiongkok menerapkan Undang-undang (UU) Keamanan Nasional di Hong Kong. 

Sejak UU berlaku, otoritas keamanan Hong Kong meminta perusaahaan teknologi untuk menyerahkan data pengguna. Namun, perusahaan teknologi menilai UU tersebut akan memberangus pengguna.

Regulasi itu memasukan jenis kejahatan baru, seperti ketika seseorang kedapatan berkonspirasi dengan orang asing untuk memprovokasi kebencian kepada pemerintah Tiongkok atau otoritas Hong Kong di platform digital. Hukumannya pun bisa berujung penjara seumur hidup.

Begitu mulai berlaku, para kelompok pro-demokrasi langsung menghentikan aktivitasnya, lantaran takut dituntut. Buku-buku yang ditulis oleh aktivis pro-demokrasi telah dihapus dari perpustakaan.

Regulasi itu juga memperluas kekuatan pejabat untuk menyelidiki, menuntut dan menghukum, baik warga negara asing maupun penduduk lokal yang dianggap bertindak mempromosikan pemisahan diri atau subversi pemerintah.

Pemerintah Hong Kong mengatakan, polisi akan diberikan wewenang baru. Itu meliputi penuntutan platform media sosial dan penyedia layanan internet untuk menghapus konten yang menurut mereka mengancam keamanan nasional.

Hong Kong sebelumnya merupakan wilayah Inggris. Kemudian pada 1997 Hong Kong diserahkan kembali ke Tiongkok dengan syarat, bahwa Hong Kong akan menikmati kebebasan khusus.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...