Pengamat: Transisi EBT RI Terhambat Besarnya Subsidi Energi Fosil

Image title
12 November 2021, 14:08
subsidi energi, ebt, emisi karbon, energi baru terbarukan
123RF.com/sergeiminsk
Ilustrasi energi fosil, minyak dan gas.

"Ini selaras dengan keputusan pemerintah yang tidak akan memberikan ijin untuk pembangunan PLTU baru di luar program 35 GW dan rencana pensiun dini PLTU sebelum 2030,” kata Fabby.

Analisis Climate Transparency 2021 menunjukkan agar tercapai target Persetujuan Paris, semua wilayah di dunia harus menghentikan PLTU batu bara secara bertahap antara tahun 2030 dan 2040.

Pada 2040, pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik harus ditingkatkan menjadi setidaknya 75%, dan pangsa batu bara tanpa teknologi CCS/CCUS harus dihapuskan.

Sedangkan dalam KEN, Indonesia berjanji untuk mengurangi batu bara hingga 30% pada 2025 dan 25% pada tahun 2050. Sementara, agar selaras dengan Persetujuan Paris, pembangkitan listrik dari batu bara harus mencapai puncaknya pada 2020 dan menghentikan batu bara sepenuhnya pada 2037.

Berdasarkan perhitungan IESR dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System, biaya untuk mentransformasi sistem energi Indonesia untuk meraih bebas emisi pada 2050 mencapai US$ 25 miliar per tahun hingga 2030. Hal ini akan meningkat tajam setelahnya menjadi US$ 60 triliun per tahun.

Manager Program Ekonomi Hijau IESR, Lisa Wijayani menilai subsidi energi fosil yang memperbesar dampak buruk dari emisi GRK akan menambah beban negara. Hal ini lantaran adanya kerugian ekonomi dan pengeluaran keuangan negara untuk mengatasi bencana akibat perubahan iklim.

"Subsidi tersebut dapat dialihkan untuk membantu percepatan transisi energi menggunakan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% di 2025," kata Lisa.

Pada Deklarasi G20, Oktober lalu di Roma, negara G20 telah sepakat untuk meningkatkan komitmennya untuk menekan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien. IESR memandang Indonesia dapat menggunakan peluang kepemimpinannya di G20 pada 2022 untuk mendorong aksi nyata keluar dari beban pembiayaan energi fosil.

Menurut Lisa komitmen negara G7 untuk memberikan pendanaan iklim sejumlah US$ 100 miliar sampai 2025 masih belum cukup. Oleh karena itu negara G20 harus ikut berkontribusi, salah satunya dengan cara melakukan reformasi keuangan ke arah energi terbarukan yang mendukung ekonomi hijau.

"Indonesia sebagai pemimpin negara G20 di 2022 dapat mendorong negara anggota G20 untuk melakukan reformasi keuangan," ujar Lisa.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...