Riset: Porsi EBT Surya dan Angin Hanya 0,2%, RI Diminta Kurangi PLTU

Muhamad Fajar Riyandanu
7 Juli 2022, 20:06
ebt, energi baru terbarukan, surya, angin, plts, pembangkit listrik, pltu
ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/rwa.
Teknisi membersihka panel surya pada instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di kampus Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, Jawa Timur, Kamis (7/7/2022).

Analis Kelistrikan Asia EMBER, Achmed Edianto, mengatakan pemerintah harus memaksimalkan energi matahari dan angin, seperti yang dilakukan oleh Cina, India, dan sebagian besar negara-negara di dunia karena harga bahan bakar fosil melambung tinggi. Sebaliknya energi surya dan angin dapat menyediakan energi lokal yang terjangkau.

“Energi surya dan angin mulai berkembang di seluruh Asia Tenggara, tetapi target yang lebih agresif dan eksekusi yang tepat waktu diperlukan untuk memanfaatkan potensi yang besar. Pemerintah perlu meninjau ulang rencana energi 2030,” kata Achmed pada Kamis (7/6).

Menurutnya, Pemerintah lebih memprioritaskan pengembangan energi panas bumi dan air ketimbang pengembangan energi surya dan angin. Sikap pilih kasih yang ditunjukkan oleh pemerintah didasari karena mahalnya teknologi penciptaan energi listrik dari angin dan matahari.

Adapun kondisi serupa juga terjadi di negeri Jiran Malaysia dan Filipina. "Pengembangan energi surya dan angin harus dinaikkan dan sistem ketenagalistrikkan harus siap menerima penetrasi energi terbarukan yang lebih besar," sambung Achmed.

Achmed pun menyoroti sejumlah persoalan dalam RUPTL PLN 2021-2030 yang disebut-sebut sebagai RUPTL terhijau. Dalam RUPTL tersebut, PLN yang sedang mengalami kondisi over supply menghindari penambahan biaya modal dan biaya opersional.

Sikap PLN yang demikian diterjemahkan sebagai langkah untuk menghindari mengembangkan energi terbarukan. "Jadinya memilih untuk mengubah PLTU yang ada dengan biomassa atau co-firing. Dibanding menambah biaya investasi di energi terbarukan. PLN memilih yang sudah ada (PLTU) yang ada untuk co-firing," ujar Achmed.

Achmed berharap program pemensiunan PLTU dapat lebih cepat tanpa harus menunggu hingga tahun 2040. Pemensiunan PLTU yang dilakukan lebih cepat akan membuka ruang bagi sumber energi angin dan surya.

Adapun sembari menunggu waktu purna, pemerintah dapat mengurangi peran PLTU sebagai komponen utama penjual listrik ke PLN.

"PLTU tidak lagi yang harus terus-menerus berjalan untuk menyuplai energi. Nantinya penjual utama sumber listrik berasal dari sumber energi terbarukan. Hal ini sudah sejak lama dilakukan oleh Inggris dan Jerman. Sekarang ini kondisinya masih menunggu harga baterai lebih murah," tukas Achmed.

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...