Masalah Regulasi Hambat Transisi Energi di ASEAN, Bagaimana Indonesia?

Muhamad Fajar Riyandanu
29 Juli 2022, 20:05
transisi energi, asean, energi terbarukan, regulasi
ASEAN/twitter
Bendera negara-negara ASEAN.

Hal serupa juga dilakukan oleh Pemerintah Vietnam. Di negara tersebut, mereka mulai menerbitkan aturan soal upaya dekarbonisasi jangka panjang sampai tahun 2050. Secara bertahap, mereka mulai memanfaatkan sumber energi terbarukan untuk kepeluan transportasi umum, pertanian dan industri.

Vietnam juga akan menerapkan pajak karbon dengan tarif US$ 29 per ton. Ini jauh lebih tinggi dari tarif pajak karbon di Indonesia yang hanya US$ 2,1 per ton. "Diperkirakan kami membutuhkan dana US$ 144 miliar untuk 2022 hingga 2040," kata Nguyen Thi Ha, Sustainable Energy Program Manager Green Innovation and Development Centre.

Pemerintah Vietman juga mengupayakan untuk menghentikan produksi listrik melalui pembangkit listrik batu bara. Akan tetapi, butuh biaya yang besar untuk merealisasikan hal tersebut. "Sudah ada rencana pemensiunan PLTU dalam 20 tahun ke depan," ujarnya.

Sementara itu, kondisi tak jauh beda juga terjadi di Indonesia. Sejumlah PLTU berusia tua dikabarkan akan diperpanjang selama 10 hingga 20 tahun.

Senior Researcher on Renewable Energy Institute for Essential Service Reform (IESR), Handriyanti Puspitarini menjelaskan produksi batu bara di dalam negeri diperkirakan akan terus naik seiring dengan adanya krisis energi global. Sejumlah negara Uni Eropa kini mulai mencari batu bara untuk suplai energi nasional.

"Produksi batu bara Januari sampai Juni hampir 300 juta ton, sehingga kami memproyeksikan produksi batu bara ini akan terus meningkt di masa depan. Bauran energi primer untuk energi terbarukan saat ini hanya 11,7%," kata Handriyanti.

Menurut dia, maslah utama yang menghambat upaya transisi energi di Indonesia adalah mahalnya beban yang harus ditanggung oleh negara. Diperkirakan, investasi yang dibutuhkan untuk proyek transisi energi sebesar US$ 25 juta per tahun.

Melalui survei yang dilakukan oleh IESR, 84% pengembangan dana publik untuk mendukung transisi energi belum mencukupi. Dia juga menyoroti minimnya peran bank lokal dalam menyediakan kredit kepada pengembangan energi terbarukan. "Kalau ada yang memberi, bunganya tinggi," tukasnya.

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...