Pajak Ekspor Batu Bara Dinilai Mampu Biayai Transisi Energi Indonesia
Organisasi Masyarakat Sipil Bersihkan Indonesia mengatakan Indonesia sanggup untuk mendanai proyek transisi energi secara mandiri dengan menerapkan kembali tarif pajak ekspor batu bara yang saat ini harganya meroket hingga menembus US$ 400 per ton.
Koordinator Bersihkan Indonesia (BI) Ahmad Ashov Birry menilai, secara bertahap, komitmen Indonesia dalam upaya beralih ke energi bersih bisa dilakukan dengan memanfaatkan pendanaan dari dalam negeri melalui windfall pajak yang ditarik dari para pelaku usaha energi fosil.
Ashov menilai, langkah ini bisa menjadi alternatif bagi Pemerintah untuk mengurangi opsi bantuan dari luar negeri. Menurutnya, nilai dari pungutan pajak batu bara akan lebih tinggi dari penerapan royalti.
"Para pelaku usaha energi fosil, batu bara itu ditarik pajaknya. Jadi gak harus bergantung pada pinjaman atau bantuan luar negeri. Peningkatan nilai pajak ekspor bisa menjadi ongkos transisi energi," kata Ashov saat ditemui di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (19/5).
Berdasarkan data Badan Pusat Statisik (BPS), nilai ekspor batu bara Indonesia pada kelompok HS 2701 mencapai US$ 29,6 miliar atau sekitar Rp 420,32 triliun pada Januari-November 2021.
Nilai tersebut meningkat 90,5% dibandingkan periode sama tahun 2020. Nilai ekspor tersebut juga setara dengan 14,94% total ekspor non-migas Indonesia. Khusus ke-15 negara pasar utama, ekspor batu bara Indonesia mencapai US$ 23,78 miliar atau sekitar Rp 337, 7 triliun pada periode Januari-November 2021.
"Jangan seperti dulu, Indonesia banyak ekspor minyak tapi negara tidak dapat apa-apa. Sampai-sampai kita jadi importir karena minyaknya berkurang. Jangan sampai kejadian yang sama terjadi pada komoditas batu bara," sambung Ashov.
Di sisi lain, Ashov menjelaskan, salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mempercepat penutupan PLTU batu bara yakni memperketat aturan lingkungan terhadap operasional PLTU. Salah satunya, bisa dengan memperkuat aturan baku mutu polusi, air bahang, dan limbah B3 yang dihasilkan dari proses kerja PLTU.
"Jika itu diperketat, PLTU akan pasang alat kontrol polusi dan penyaringan yang lebih kuat. Ongkosnya mahal, di situ akan logis bagi PLTU untuk tutup. Sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk mempercepat penggunaan energi terbarukan ini," sambung Ashov.
Indonesia membutuhkan dana sebesar US$ 50 miliar atau setara Rp 717 triliun (kurs Rp 14.340 per dolar) untuk membiayai transisi energi bersih.
Presiden Joko Widodo mengatakan kebutuhan pembiayaan untuk menuju energi baru dan terbarukan perlu mendapat dukungan negara maju untuk berkontribusi dalam pembiayaan hingga transfer teknologi.
"Perlu bekerja sama secara domestik, kerja sama secara global," kata Jokowi dalam World Economic Forum yang dihadiri secara daring dari Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (20/1).
Selain itu, Indonesia memerlukan pendanaan sebesar US$ 37 miliar atau sekitar Rp 530,58 triliun untuk sektor kehutanan, lahan, dan karbon laut. Untuk itu, RI perlu mendapatkan dukungan biaya yang tidak terlalu membebani masyarakat, negara, dan industri.
Pendanaan transisi energi yang berasal dari dalam negeri, terutama bank dirasa masih cukup sulit karena sejumlah lembaga masih kesulitan dalam menganalisis risiko dari proyek-proyek energi terbarukan yang mendukung upaya menurunkan emisi karbon.
Ketua Bidang Hukum Perbanas, Fransiska Oei, mengatakan, masih banyak tantangan yang dihadapi industri perbankan dalam mendorong pembiayaan hijau. Salah satunya adalah kesiapan masing-masing industri yang menunjang.
Menurutnya, bank mau saja mendukung program keuangan berkelanjutan, karena mereka tahu ini sesuatu yang positif. Walaupun tidak diwajibkan oleh regulasi, bank sebenarnya bersedia untuk mendukung transisi energi. Masalahnya, saat ingin membiayai sesuatu, bank harus memastikan bahwa nasabah dapat mengembalikan dananya.
Fransiska menyebut ada beberapa beberapa kendala yang dihadapi olah bank terkait proyek-proyek renewable energy. Pertama, rata-rata proyek memiliki kebutuhan pembiayaan dengan jangka waktu yang panjang (long term) yang tidak cocok dengan pendanaan.
Selanjutnya, kebanyakan proyek ini mahal atau nilainya besar. Jika proyek memiliki nilai besar, tentu bank akan mewaspadai apakah nasabah dapat mengembalikan dananya atau jangan sampai terjadi kredit macet.
"Misalnya geothermal, biaya proyek tinggi tetapi tidak pasti keadaannya. PLTA juga tidak stabil karena jika terjadi bencana alam, aliran sungai mungkin berubah. Kami juga belum memiliki data yang cukup, seperti letak aliran sungai yang baik untuk PLTA, atau lokasi potensi panas bumi. Jadi, sudah kreditnya mahal, butuh tenor lama, dan risikonya tinggi. Di sisi lain, debiturnya juga masih terbatas," ujarnya kepada Katadata.co.id beberapa waktu lalu.