Menilik Perlakuan Perpajakan untuk Reseller dan Dropship

Image title
1 April 2022, 12:52
perpajakan
Instagram/@jubelio
Ilustrasi, layanan toko online. Reseller dan dropship menjadi istilah yang tidak asing di era belanja online. Meski skalanya tidak besar, dua jenis usaha ini tetap tidak lepas dari aturan perpajakan. Beberapa pajak yang dikenakan antara lain PPN dan PPh.

Ketika PT ABC menjual barang tersebut kepada konsumen dengan harga Rp 6 juta, maka PT ABC harus memungut PPN sebesar 11% dari harga. Ini membuat konsumen harus membayar sebesar Rp 6,66 juta.

Saat PT ABC membayar dan melaporkan PPN, perusahaan dapat melampirkan faktur pajak yang diterbitkan PT DEF, yang menyatakan bahwa pihaknya telah membayar pajak sebesar Rp 550 ribu. PPN tersebut dapat menjadi pengurang untuk pembayaran pajak atas penjualannya ke konsumen.

Maka, PPN terutang yang harus disetorkan PT ABC kepada pemerintah adalah sebesar Rp 110.000. Jumlah ini berasal dari pengurangan PPN barang yang dijual ke konsumen sebesar Rp 660.000, dengan PPN yang dibayarkan PT ABC ke PT DEF sebesar Rp 550.000.

2. Pajak Penghasilan (PPh)

Reseller dan dropshipper juga dikenakan aturan perpajakan terkait PPh. Tarif PPh yang dibebankan kepada reseller dan dropship ini mengikuti status badan usahanya, apakah perorangan atau sudah berbentuk Perseroan Terbatas (PT).

Jika usaha telah berbentuk PT, maka tarif PPh yang dikenakan adalah 20% dari penghasilan kena pajak. Jumlah tarif ini sudah mengalami penurunan sejak 2020. Sebelumnya, tarif PPh wajib pajak badan ditetapkan sebesar 25% dari penghasilan kena pajak.

Sementara, jika reseller atau dropshipper berbentuk usaha perorangan, maka ketentuan PPh yang dikenakan adalah PPh Final dengan besaran tarif 0,5% setiap bulannya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Namun, jika omzet reseller atau dropshipper baru mencapai Rp 500 juta atau di bawahnya, tidak akan dikenakan PPh Final. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (2a) UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.

Misalnya, jika suatu reseller yang dikelola perorangan pada Januari hingga Mei 2022 memiliki omzet kumulatif sebesar Rp 500 juta. Maka atas omzet tersebut tidak dikenakan PPh.

Reseller dikenakan PPh Final setelah omzet kumulatif yang diperoleh melebihi Rp 500 juta, yaitu pada Juni hingga Desember 2022. Omzet tersebut akan dikenakan tarif PPh Final UMKM sebesar 0,5% dari omzet setiap bulannya.

Maka, total PPh Final yang dibayarkan oleh reseller selama 2022 semenjak diberlakukannya UU HPP adalah sebesar Rp 3,5 juta. Jumlah ini didapatkan dari omzet selama Juni-Desember yang sebesar Rp 700 juta dikalikan tarif PPh Final sebesar 0,5%.

Patut diingat, kemudahan berupa PPh Final tidak akan selamanya berlaku. Sebab, masa berlakunya untuk wajib pajak perorangan hanya tujuh tahun dari diterbitkannya PP Nomor 23 tahun 2018. Artinya, pada 2025 PPh yang berlaku kembali pada tarif yang berlaku sesuai Pasal 17 Ayat (1a) UU HPP.

Berdasarkan ketentuan tersebut, besaran tarif atas penghasilan kena pajak adalah sebagai berikut;

  • Sampai dengan Rp 60 juta per tahun dikenakan tarif 5%
  • Di atas Rp 60 juta-Rp2 50 juta per tahun dikenakan tarif 15%
  • Di atas Rp 250 juta-Rp500 juta dikenakan tarif 25%
  • Di atas Rp 500 juta-Rp 5 miliar per tahun dikenakan tarif 30%
  • Di atas Rp 5 miliar per tahun dikenakan tarif 35%

Selain pajak atas transaksi, perlakuan perpajakan lainnya juga diberlakukan jika ada kegiatan terkait operasional. Misalnya, sebuah reseller memiliki karyawan dan menyewa gedung untuk melakukan aktivitas. Maka, reseller tersebut wajib membayar PPh 21 atas gaji karyawan dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penyewaan gedung.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...