Mengenal Proses Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan

Image title
30 Mei 2022, 07:00
perpajakan
ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nz
Ilustrasi, dua terdakwa konsultan pajak PT Gunung Madu Plantations (GMP) Aulia Imran Maghribi (kanan) dan Ryan Ahmad Ronas (kiri), menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (24/5/2022). JPU KPK mendakwa Aulia Imran dan Ryan Ahmad atas perkara suap kepada dua mantan pejabat Ditjen Pajak Angin Prayitno Aji dan Dadan Ramdani senilai Rp 15 miliar terkait pemeriksaan perpajakan tahun 2016 dan 2017 pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Namun, UU HPP mengubah pasal yang berkaitan dengan pihak yang berwenang tersebut, sehingga yang bisa melakukan penyidikan hanya PPNS di lingkungan DJP. Berdasarkan, Pasal 44 Ayat (2) UU HPP, petugas penyidik ini memiliki sejumlah kewenangan, antara lain:

  1. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas.
  2. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
  3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
  4. Memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
  5. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti berupa pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta barang bukti lain yang diduga terkait dengan tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut.
  6. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
  7. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa.
  8. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
  9. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
  10. Melakukan pemblokiran harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan atau penyitaan harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan UU yang mengatur mengenai hukum acara pidana, termasuk tetapi tidak terbatas dengan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat.
  11. Menghentikan penyidikan.
  12. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud, penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.

Dalam menjalankan penyidikan tindak pidana perpajakan, PPNS harus memberitahukan dimulainya penyidikan. Kemudian, menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum, melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan

Sama dengan perkara hukum lainnya, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan juga dapat dihentikan. Meski, proses penyidikan masih berlangsung.

Ada beberapa alasan yang membuat penyidikan akhirnya dihentikan oleh PPNS, antara lain:

  • Wajib pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan. Pengungkapan ketidakbenaran tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasinya.
  • Tidak terdapat cukup bukti.
  • Dalam proses penyidikan, diketahui bahwa peristiwa/perbuatan yang dilaporkan bukan merupakan tindak pidana perpajakan.
  • Demi hukum.

Selain itu, pertimbangan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan juga dapat dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 44B Ayat (1) UU HPP.

Aturan tersebut, menyebutkan bahwa untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu enam bulan sejak tanggal surat permintaan.

Namun, upaya penghentian penyidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 44B Ayat (1) UU HPP dapat dilakukan apabila telah memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut.

1. Wajib pajak atau tersangka melunasi kerugian pada pendapatan negara yang disebabkan karena kealpaan dalam mengisi SPT, ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar satu kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.

2. Wajib pajak atau tersangka melunasi kerugian pada pendapatan negara yang tertuang dalam Pasal 39 UU KUP, ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar tiga kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.

Sebagai informasi, Pasal 39 UU KUP menyebutkan bahwa ancaman pidana dapat dijatuhkan pada wajib pajak yang melakukan salah satu dari beberapa pelanggaran sebagai berikut:

  • Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
  • Tidak menyampaikan SPT.
  • Menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.
  • Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar.
  • Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lainnya.
  • Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

Jika salah satu atau beberapa pelanggaran ini dilakukan, dan menimbulkan kerugian pada negara, maka wajib pajak dapat dipidana dengan penjara selama-lamanya tiga tahun dan/atau denda setinggi-tingginya sebesar empat kali jumlah pajak yang terhutang yang kurang atau yang tidak dibayar.

3. Wajib pajak atau tersangka melunasi jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A UU KUP. Pelunasan ini ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Seperti diketahui, Pasal 39A UU Nomor 28 tahun 2007 menyebutkan, bahwa sanksi pidana dapat dijatuhkan pada wajib pajak yang melakukan salah satu pelanggaran sebagai berikut:

  • Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya.
  • Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Jika wajib pajak melakukan salah satu dari pelanggaran yang telah disebutkan dalam Pasal 39 UU KUP, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama enam tahun.

Selain itu, wajib pajak juga dihadapkan dengan sanksi denda. Jumlahnya, minimal dua kali, dan maksimal enam kali, dari jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...