Jalan Panjang UU Ciptaker untuk Atasi Ekonomi Stagnan & Lapangan Kerja

Agustiyanti
12 Oktober 2020, 17:25
UU Cipta Kerja, Omnibus Law Cipta Kerja, Pertumbuhan Ekonomi, lapangan kerja, dpr
Thampapon Otavorn/123rf
Ilustrasi. Pemerintah menyebut UU Cipta Kerja diperlukan untuk membuka lapangan kerja bagi 2,9 juta angkatan baru, 6,9 juta pengangguran, dan 3,5 juta pekerja terdampak Covid-19.

Persentase FDI terhadap produk domestik bruto pun terus menurun dari puncaknya yang mencapai 3,2% pada 2014 menjadi 2,5% menjadi 2019. Hal ini membuat pemerintah fokus pada peningkatan FDI sebagai yang kedua tahap reformasi, salah satunya melalui penerbitan Omnibus Law Cipta Kerja.

"Omnibus Law Cipta Kerja akan melengkapi tarif pajak perusahaan pemotongan pajak yang disahkan awal tahun ini," katanya.

Sisi Positif dan Negatif Omnibus Law

Pemerintah menargetkan Indonesia masuk dalam lima besar ekonomi dunia pada 2045 dengan tingkat kemiskinan ekstrim sebesar nol, pekerjaan berkualitas tinggi, dan PDB per kapita per bulanRp 27 juta per bulan.

Untuk mencapai target tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai 6% per tahun sehinga membutuhkan investasi baru Rp 4.800 triliun. " Mengingat kemampuan investasi dalam negeri yang terbatas, kami yakin Indonesia akan membutuhkan FDI dalam jumlah besar, dengan Omnibus Law Cipta Kerja sebagai solusinya," katanya. 

Untuk memenuhi target jangka pendeknya, pemerintah telah menargetkan untuk menampung relokasi investasi dari Tiongkok BKPM telah mengindikasikan tujuh perusahaan yang berencana memindahkan bisnis dari Tiongkok ke Indonesia dengan nilai investasi mencapai US$ 850 juta dan berpotensi membuka 30 ribu lapangan kerja.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada September lalu juga  menargetkan 143 investor asing akan merelokasi bisnis ke Indonesia dan mampu membuka 300 ribu lapangan kerja. Sebagian besar saat ini memiliki bisnis di Tiongkok.

Dengan kondisi tersebut, Morgan Stanley pun memperkirakan omnibus law  berpotensi membalikkan tren pada ekonomi Indonesia dari kontraksi pada tahun ini ke pertumbuhan yang jauh lebih baik pada tahun depan. Lembaga tersebut bahkan menyebut Indonesia berpotensi menjadi 'anak emas' di antara negara yang ekonominya akan pulih dengan cepat.

"Kami perkirakan omnibus law akan berdampak langsung pada sektor properti, kawasan industri;, teknologi, industri padat karya seperti tekstil dan tembakau, infrastruktur dan perbankan," ujarnya. 

Lembaga Pemeringkat Utang Global Moodys juga memperkirakan perbaikan pada iklim bisnis pada UU Cipta Kerja akan mendorong investasi masuk ke Indonesia baik dari dalam negeri maupun asing. Hal ini dapat membantu Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai dengan potensinya.

Moodys memperkirakan beragam insentif pajak yang diberikan pemerintah melalui UU Cipta Kerja maupun pemotongan PPh Badan melalui UU Nomor 2 tahun 2020 dapat menggerus penerimaan negara. Namun, efek positifnya pada peningkatan  basis pajak akan terjadi secara bertahap. 

Lembaga tersebut juga mengingatkan relaksasi pada pengaturan terkait Analisis Dampak Lingkungan dan kelonggaran pada pembatasan pembukaan lahan gambut pada perkebunan sawit akan menahan investasi asing dari negara-negara yang memiliki konsen terhadap ekonomi berkelanjutan.

Namun, Jokowi menjelaskan, relaksasi terkait analisis mengenai dampak lingkungan hanya diberikan pada UMKM. Industri besar tetap harus melaksanakan studi Amdal secara ketat.

Menurut Jokowi,  penolakan Omnibus Law Cipta Kerja oleh berbagai elemen masyarakat dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi undang-undang tersebut. Ia mencontohkan, informasi terkait penghapusan upah minimum provinsi.

"Hal ini tidak benar, faktanya upah minimum regional atau UMR tidak benar. Ada juga yang menyebutkan upah minimum per jam, tidak benar. Upah dihitung berdasarkan waktu dan hasil," ujarnya.

Ia juga menegaskan cuti melahirkan, menikah, khitanan, baptis, kematian, hingga haid bagi wanita tetap ada dan dijamin."Perusahaan tidak benar bisa melakukan PHK secara sepihak. Jaminan dan kesejahteraan lainnya juga tidak hilang, tetap ada," katanya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menjelaskan target pertumbuhan ekonomi pada tahun depan sebesar 5% antara lain akan didorong oleh investasi. Untuk itu, iklim investasi Indonesia dibuat senyaman mungkin untuk menarik investor agar pemulihan ekonomi lebih cepat melalui Omnibus Law Cipta Kerja. 

Omnibus law Cipta Kerja diharapkan membantu dunia usaha di tengah masa sulit Pandemi Covid-19. Namun, Sri Mulyani menekankan, pemulihan ekonomi Indonesia akan sangat bergantung pada penanganan Covid-19. Semakin pertambahan kasus di Indonesia dapat ditahan, makin cepat pula perekonomian membaik.

Sementara itu, ekonom Faisal Basri menilai landasan pemerintah menerbitkan omnibus law keliru karena investasi Indonesia selama ini tumbuh cukup tinggi. Menurut dia, pertumbuhan investasi Indonesia lebih tinggi dibandingkan Tiongkok, Malaysia, Thailand, Afrika Selatan, dan Brazil serta hampir sama dengan India. Hanya Vietnam yang pertumbuhan investasinya lebih tinggi dari Indonesia.

Investasi yang dimaksud Faisal adalah pembentukan modal tetap bruto yang berwujud investasi fisik dan merupakan salah satu komponen dalam produk domestik bruto

"Presiden keliru mengatakan investasi terhambat dan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan “tidak nendang”. Alasan keliru ini membuat Presiden mencari jalan pintas dengan mengajukan Omnibus Law Cipta Kerja," kata Faisal dalam opini yang ditulis melalui situs pribadinya, Jumat (9/10).

Menurut dia, masalah paling mendasar dalam perekonomian Indonesia sebenarnya adalah investasi besar dengan hasil investasi kecil. Kondisi ini yang menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sebelum pandemi bertengger di angka 5%. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...