Dari perhitungan Ferdy, Negeri Manufaktur sudah menguasai 70% industri hilir nikel di Indonesia. Rinciannya adalah Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menguasai sekitar 50% pasar industri hilir nikel, Virtue Dragon Nickel Industry sebesar 10% hingga 13%, dan Tsingshan melalui Bintang Delapan sekitar 5%. 

Ketiga perusahaan ini adalah perusahaan Tiongkok. Sisanya dimonopoli PT Vale Indonesia Tbk, yang menguasai sekitar 19% industri hilir dan 7% perusahaan domestik. Pemerintah melalui MIND ID sudah berhasil mengakuisisi 20% kepemilikan Vale. 

Sama seperti masalah di Bangka Belitung, perusahaan Tiongkok yang beroperasi di Indonesia tidak menggunakan harga patokan minimum (HPM) untuk membeli bijih nikel (nickel ore). “Kita sudah berterimakasih karena ada progres (pembangunan smelter), tapi tidak didominasi oleh Tiongkok, dong,” kata Ferdy kepada Katadata.co.id, melalui telepon.

Masalah ketiga adalah kerakusan dari dua sisi, perusahaan smelter dan penambang. Ada banyak daerah tambang yang menumpuk di satu lokasi. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan yang mau menjual bahan mentah kepada smelter, tapi ditolak dengan konsesi masing-masing. 

Akhirnya, penambang terus-menerus mengeruk bahan mentah dan meningkatkan pasokan yang tidak diproses menjadi bahan jadi. Kondisi ini, menurut Ferdy, harus ditindak tegas. Dalam 20 tahun ke depan, menurut hitungannya, bahan mentah mineral akan habis, seperti produksi Minyak dan gas.

Sebagai informasi, pemerintah menargetkan akan ada 53 fasilitas smelter yang beroperasi di tahun 2024. Sebanyak 30 pabrik mengolah nikel. 

Hingga kini, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghitung ada 13 smelter nikel sudah berproduksi. Data lebih lanjut dapat dilihat dalam Databoks berikut:

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, ada dua hal yang juga harus dibenahi agar kebijakan ini dapat saling menguntungkan pemerintah dan pelaku usaha. Pertama, industri manufaktur domestik masih tidak menyerap produk hasil hilirisasi, malah mengimpornya. Penyebabnya, harga dalam negeri yang jauh lebih mahal dibandingkan produk luar negeri. 

Ia mendorong agar pemerintah menerapkan peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN). “Pemerintah harus tegas. Kalau bisa diproduksi dalam negeri, janganlah diimpor,” kata Mamit pada Katadata.co.id.

Masalah kedua, tidak adanya peraturan yang lebih detail mengenai harga antara penambang dan smelter. Hal ini menyebabkan nilai beli yang tidak cocok di antara kedua sisi. “Harusnya selama harga masih menguntungkan, masuk dan ekonomis, maka akan terlaksana dengan baik,” katanya.

Bijih Nikel
Bijih Nikel (ANTARA FOTO/REUTERS/Yusuf Ahmad)

Domestik Belum Banyak Serap Produk Hilirisasi

Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) menyebut pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah agar program hilirisasi berjalan lancar. Ketua AP3I Prihadi Santoso menyebut masalah itu penyerapan pasar lokal belum maksimal.

Pasar domestik kini hanya menyerap 10% produk smelter. Sisanya menjadi produk ekspor. Di dalam negeri, pembeli terbesar ada di perusahaan kecil dan menengah yang biasa menggunakannya untuk proyek infrastruktur jembatan dan tol. 

Rendahnya penyerapan lokal, menurut dia, disebabkan tiga faktor. Pertama, tingginya dana untuk membangun smelter. Untuk mencapai keekonomian harga, perusahaan tambang yang sudah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) terpaksa menjadi perusahaan peleburan (smelter).

“Perusahaan tambang sebenarnya tidak punya keahlian (smelter), berupa sumber daya manusia, teknologi, dan pasar,” kata Prihadi, kemarin. 

Kedua, meskipun pemerintah sudah memberhentikan ekspor bahan baku mineral, namun tetap ada kegiatan impor barang jadi dari luar negeri. Penyebabnya tak lain karena harga dari luar negeri lebih murah. 

Para pengusaha berpendapat pemerintah telah abai dengan Pedoman Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) yang telah diatur dalam Peraturan Peraturan Menteri (Permen) Perindustrian Nomor 2 Tahun 2014.

Ketiga, belum adanya formula harga yang jelas untuk komoditas nikel. Wakil Ketua Umum AP3I Jonatan Handojo mengatakan, patokan harga yang ditetapkan Kementerian ESDM bersama dengan Asosiasi Penambang Nikel (APNI) tidak sesuai dengan kaidah internasional. 

Patokan harga yang diikuti secara global adalah bursa berjangka bursa berjangka Londong, Inggris, alias London Metal Exchange (LME).  “Harga komoditi kok diatur tiga bulan sekali? Itu omong kosong,” kata Jonatan.

Masalah lainnya adalah harga energi yang dipatok PLN sangat tinggi. Sedangkan perusahaan smelter membutuhkan energi pembakaran yang sangat besar untuk meleburkan mineral. 

Selama ini perusahaan setrum negara menyediakan batu bara sebagai energi utama pembangkit. Namun, beberapa tahun terakhir Indonesia mulai berbenah menuju zero emission, maka energi yang digunakan adalah gas. 

Harga gas yang tinggi inilah yang menghalangi produktivitas perusahaan smelter. AP3I pun pesimistis dengan kemungkinan penurunan harga energi. “PLN saja sekarang lagi kesulitan keuangan karena banyak utang. Gimana caranya orang lagi ngutang malah dimintai tolong?” kata Prihadi.

Pemerintah juga perlu meninjau kembali terhadap fasilitas fiskal tax holiday atau pembebasan pajak penghasilan (PPh) bagi perusahaan smelter yang dimiliki asing. Kebijakan ini dinilai memberatkan perusahaan lokal. “Asing itu belum pasti lama di Indonesia, kok dibebaskan pajak,” ujar Jonatan.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement