• Presiden Joko Widodo menyebut ekspor bahan mentah tidak lagi memberi manfaat besar bagi negara.
  • Berbagai masalah masih membayangi proyek hilirisasi dan pemerintah belum memberikan solusi.
  • Penyerapan domestik terhadap produk hilirisasi masih minim. 

Pemerintah berencana menghentikan ekspor bahan mentah produk pertambangan secara bertahap pada 2022. Penerapan ini akan mulai dari bauksit. Sebelumnya, per 1 Januari 2020, bijih nikel pun sudah tak lagi boleh diekspor.

Kebijakan itu bertujuan untuk mendorong hilirisasi produk tambang mineral. Presiden Joko Widodo menyebut dengan memberi nilai tambah, maka dapat membuka lapangan pekerjaan dan tidak lagi menjual bahan mentah ke luar negeri. 

Ekspor bahan mentah, menurut dia, tidak lagi memberi manfaat besar bagi negara. “Mau-tak mau, (kita) harus mendirikan industri di Tanah Air,” katanya saat meresmikan pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter nikel PT Gunbuster Nickel Industry di Konawe, Sulawesi Selatan, Senin (27/12). 

Pabrik smelter Gunbuster Nickel Industri diperkirakan menyerap 27 ribu lapangan kerja. Jumlahnya bertambah seiring dengan peningkatan kegiatan industri di sekitar pabrik. Kapasitas pengolahan bijih nikel menjadi feronikel di pabrik ini mencapai 1,8 juta ton per tahun. 

Dari bijih nikel yang diolah menjadi feronikel, nilai tambahnya meningkat 14 kali. Apabila bijih nikel diolah menjadi billet stainless steel, nilainya meningkat 19 kali lipat. Dengan peleburan bijih nikel menjadi baja nirkarat atau stainless steel, nilai ekspor komoditas ini akan melonjak menjadi US$ 20,8 miliar atau setara Rp 291,2 triliun.

Pada Kamis lalu, Jokowi juga menghadiri peresmian Kawasan Industri Hijau Indonesia di Tanah Kuning, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Pada kesempatan itu, PT Adaro Energy Tbk mengumumkan rencananya membangun smelter aluminium.

Investasi itu akan melalui anak usahanya, PT Adaro Aluminium Indonesia. Perusahaan telah menandatangani surat pernyataan untuk investasi  letter of intention of invest sebesar US$ 728 juta (sekitar Rp 10,4 triliun).

Wakil Presiden Direktur Adaro, Ario Rachmat mengatakan pembangunan smelter tersebut guna mendukung program hilirisasi pemerintah. Perusahaan berharap dapat membantu mengurangi impor aluminium, memberi nilai tambah terhadap produk alumina, dan meningkatkan penerimaan pajak negara. 

"Kami juga berharap keberadaan industri aluminium di Kalimantan Utara ini dapat mendatangkan banyak investasi lanjutan dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat," kata dia dalam keterangan tertulis.

Smelter tembaga di Gresik milik PT Smelting
Smelter tembaga di Gresik milik PT Smelting (Wahyu Dwi Jayanti | KATADATA)

Persoalan Hilirisasi Produk Tambang

Para pengamat dan pengusaha tambang sepakat dengan keinginan pemerintah. Hilirisasi akan sangat menguntungkan negara apabila diimplementasikan dengan baik. 

Dari sisi sumber daya manusia, pembangunan smelter akan menyerap banyak tenaga kerja. Dari sisi ekonomi, pabrik pemurnian akan meningkatkan devisa. Sebab, barang tambang jadi yang diekspor memiliki nilai jual lebih tinggi daripada bahan mentah.

Kebijakan ini tentu akan berpengaruh besar di pasar ekspor. Apalagi permintaan dunia akan produk turunan dari industri mineral sangat besar. Salah satunya adalah stainless steel untuk kebutuhan konstruksi, transportasi, hingga alat kesehatan.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhappi) Rizal Kasli mengatakan, Indonesia memiliki kekayaan mineral dan dapat dimaksimalkan dengan akuisisi teknologi dari luar negeri. “Secara global, yang akan menentukan nantinya adalah efisiensi produksi dan permintaan dunia,” katanya pada Katadata.co.id, Senin lalu. 

Prospek pasar domestik cukup positif, terutama untuk produk hilirisasi aluminium dan timah. Indonesia saat ini dalam posisi defisit alias mengimpor kedua produk ini dari negara lain. Beberapa di antaranya adalah aluminium sheet, aluminium plate, aluminium foil, dan aluminium scrap

Defisit produk aluminium setiap tahun berkisar lebih US$ 600 juta. Untuk mengatasinya, Rizal menyarankan, adanya peta jalan atau roadmap agar industri hilir dan manufaktur dapat tumbuh subur di dalam negeri.

Meskipun rencana hilirisasai dianggap baik, namun masih banyak rintangan dalam negeri yang harus diselesaikan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik. Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman menyebut ada tiga masalah utama program tersebut.

Pertama, penambang ilegal. Ferdy menyoroti banyaknya penambang timah ilegal yang bisa ditemui di Bangka-Belitung yang memberi efek domino buruk ke harga timah. 

Pemerintah harus menyeimbangkan kebijakan pemberhentian ekspor timah dengan pemberhentian penambang ilegal. Para penambang ini turut melakukan ekspor secara ilegal dan menentukan harga sendiri. 

Kondisi ini tentu sangat disayangkan karena Indonesia adalah negara penghasil timah terbesar nomor dua setelah Tiongkok. “Bertahun-tahun kita tidak bisa jadi penentu harga karena penambangan ilegal banyak di Bangka-Belitung dan tidak bisa dihentikan oleh pemerintah,” ucap Ferdy. 

Masalah kedua, monopoli hilirisasi Tanah Air oleh perusahaan Tiongkok. Pengusaha lokal masih belum siap membangun smelter karena investasi yang tinggi dan penguasaan teknologi yang lemah. 

Contohnya, Indonesia memiliki smelter feronikel milik PT Aneka Tambang (Antam) Tbk yang memiliki kapasitas 27 ribu metrik ton per tahun. Namun, tidak ada perusahaan swasta nasional yang berani melakukan hal serupa.

“Kalau mau diskusi pabrik smelter nikel, maka kita akan membicarakan penguasaan industri hilir oleh Cina,” kata Ferdy.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement