Wajah Baru E-Commerce RI di Tengah Serbuan Raksasa Teknologi Dunia

sentavio/123RF
Ilustrasi. Persaingan e-commerce makin ketat dengan rencana Google dan Facebook merambah perdagangan online.
Penulis: Desy Setyowati
26/10/2020, 14.20 WIB

Berdasarkan laporan McKinsey, social commerce adalah platform yang memfasilitasi jual-beli produk melalui media sosial. Sedangkan e-commerce memfasilitasi transaksi, termasuk pembayaran dan pengiriman.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda memperkirakan, perkembangan belanja online mengarah kepada social commerce. Apalagi, Facebook mulai mengkaji penggunaan dompet digital di Instagram hingga WhatsApp.

Selain itu, pemerintah belum mengatur social commerce. “Jadi lebih mudah untuk bertransaksi melalui media sosial. Apalagi tidak memungut biaya layanan seperti e-commerce,” kata Nailul kepada Katadata.co.id, dua pekan lalu (13/10).

Namun, kelemahan bertransaksi di media sosial yakni keamanannya tidak terjamin. Ini karena pembayarannya tidak ditampung dalam rekening bersama, seperti di e-commerce.

“Lebih banyak potensi fraud. Tetapi, ke depan saya yakin platform social commerce akan memperbaiki hal ini,” ujar dia.

Apalagi data GlobalWebIndex, penduduk Indonesia rerata mempunyai 10-11 akun media sosial pada kuartal I 2020. Ini tecermin pada Databoks di bawah ini:

JP Morgan dalam laporannya bertajuk ‘E-Commerce Payments Trend: Indonesia’ pada 2019 menunjukkan, aplikasi merupakan saluran penjualan utama di Indonesia yakni 74,8% atau US$ 5,3 miliar. Sedangkan YouTube, Facebook, dan WhatsApp menjadi media sosial yang paling populer.

 “Penjualan UMKM di media sosial diperkirakan 40% dari seluruh transaksi online di Indonesia,” demikian dikutip dari laporan JP Morgan. “Platform ini merupakan peluang menarik bagi pedagang yang lebih besar untuk berinteraksi dengan pembeli muda yang lebih melek digital.” Apalagi pertumbuhan pasar e-commerce Tanah Air akan didorong oleh populasi generasi muda.

Meski begitu, e-commerce unicorn lokal seperti Bukalapak memiliki cara tersendiri untuk tumbuh dan menghasilkan keuntungan. CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin akan menyasar kota di level atau tier dua seperti Yogyakarta, Manado, Solo, Palembang, dan Pekanbaru.

"Fokus kami selalu pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta kota-kota tier dua," kata Rachmat dikutip dari Tech In Asia, pekan lalu (21/10). “Ini isu yang kami lihat dan terus cari solusinya."

Presiden Bukalapak Teddy Oetomo mengatakan, penetrasi e-commerce di luar kota metropolitan masih rendah. "Hanya 5% di luar kota-kota tier satu. Padahal yang membutuhkan di luar wilayah itu," kata Teddy saat konferensi pers virtual, September (11/9) lalu.

Sejauh ini, hampir 70% bisnis Bukalapak dijalankan di luar kota tier satu. "Kami bertahun-tahun membangun mitra di kota ini (luar tier satu). Mayoritas pengguna juga di sana," ujarnya.

Selain itu, Bukalapak berfokus menyediakan beragam layanan yang konsepnya mirip aplikasi super (superapp). Yang terbaru, menyediakan program turnamen gim melalui kemitraan dengan Maingame.com.

Sedangkan CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyambut baik persaingan dengan perusahaan asing. "Kami sudah menghadapi raksasa internet global sejak hari pertama," katanya dikutip dari Business Insider, pekan lalu (21/10).

Ketimbang terobsesi dengan persaingan, “kami memilih berfokus pada masalah sehari-hari bagi pelanggan dan pedagang, menghasilkan inovasi produk dan memberikan layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal,” ujar dia.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan