Startup di Indonesia dan Amerika Serikat (AS) marak melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawan. Sedangkan di Cina, perusahaan rintisan terpaksa mencatatkan saham perdana alias IPO meski valuasi anjlok.

Ada beberapa fenomena yang tengah dialami oleh startup di sejumlah negara. Situasi ini bahkan dinilai sebagai yang terburuk setelah fenomena gelembung internet atau kehancuran dot-com.

Kehancuran dot-com atau gelembung dot-com terjadi pada periode 1998 hingga awal 2000-an. Saat itu, banyak perusahaan yang mencantumkan nama dot-com. Mereka melantai di bursa efek dan mencatatkan harga saham yang meroket.

Perusahaan dot-com saat itu banyak menjalankan model startup yang bereksperimen dengan cara-cara baru dalam berbisnis. Namun, mereka tidak punya arah bisnis yang jelas dan tidak stabil.

Kemudian, gelembung dot-com meledak dan harga saham perusahaan internet itu runtuh. Bahkan banyak di antaranya yang gulung tikar.

“Sejak awal (kondisi startup saat ini) memang bisa disebut ‘bubble’ karena rentan ketika startup sebenarnya tidak miliki aset. Sebab, asetnya yakni mitra,” kata pakar informasi teknologi dari ICT Institute Heru Sutadi kepada Katadata.co.id, Jumat (27/5).

Startup yang tidak diminati oleh masyarakat, dan masyarakat menjadi bagian dari mitra yang kuat, pasti akan rontok,” tambah dia.

Hal senada disampaikan oleh petinggi di perusahaan modal ventura yang berbasis di Shenzhen, China Europe Capital, Abraham Zhang. Menurutnya, investor sebelumnya masif menyuntik modal startup di Cina meski kinerjanya buruk.

“Hal itu didorong oleh faktor patriotisme dan keserakahan,” kata Zhang dikutip dari The Economic Times, Jumat (27/5). "Sekarang, gelembungnya pecah, dan Anda mulai melihat banyak ‘daftar IPO berdarah’.”

Sedangkan reporter teknologi NPR Bobby Allyn belum dapat menyimpulkan apakah kondisi startup saat ini sudah disebut gelembung dot com. “Apakah ini gelembung di industri teknologi yang akan meledak atau hanya realitas baru yang tidak terlalu dibesar-besarkan? Kami belum tahu,” katanya dikutip dari NPR, pekan lalu (17/5).

Berikut rincian fenomena yang tengah dialami oleh startup di dunia:

1. Marak PHK

Startup di Indonesia dan di Silicon Valley, AS marak melakukan PHK. Di Tanah Air, setidaknya ada tiga perusahaan rintisan yang memberhentikan karyawan tahun ini, yaitu Tanihub, Zenius, dan LinkAja.

Yang terbaru, JD.ID disebut-sebut juga melakukan PHK.

Kondisi itu lebih dulu terjadi di Silicon Valley. Silicon Valley merupakan pusat inovasi di Amerika yang mencetak banyak perusahaan teknologi raksasa seperti Apple, Facebook, Google, Netflix, Tesla, Twitter hingga Yahoo.

Letaknya di selatan San Francisco, California, AS. Wilayah itu menampung sekitar 2.000 perusahaan teknologi.

Korporasi teknologi di Silicon Valley mencatatkan masa terburuk tahun ini dan disebut zombi unicorn. Frasa zombi unicorn merujuk pada perusahaan rintisan bernilai tinggi tetapi goyah dan membutuhkan investor baru untuk menyelamatkan bisnis mereka.

2. Harga saham anjlok

Perusahaan teknologi di Silicon Valley mengalami penurunan harga saham. Harga saham startup olahraga di Silicon Valley, Peloton misalnya turun dari US$ 163 pada akhir 2020 menjadi sekitar US$ 17 pada awal bulan ini (5/5).

The Wall Street Journal melaporkan, eksekutif perusahaan ingin menjual saham minoritas kepada investor luar.

Peloton juga memberhentikan atau melakukan PHK ribuan karyawannya pada Februari.

Lalu, platform investasi berbasis online untuk saham, kripto, dan emas, Robinhood mencatatkan penurunan harga saham 4,62% di Nasdaq pada awal bulan ini (6/5). Robinhood juga memberhentikan 9% dari total karyawan penuh waktunya.

Di Indonesia, harga saham Bukalapak dan GoTo juga sempat turun.

3. Penurunan valuasi

Selama ini, startup identik dengan valuasi besar meski masih merugi. Namun kini, beberapa valuasi perusahaan rintisan melorot.

Kapitalisasi pasar Grab dan induk Shopee, Sea Group yang melorot misalnya. Berdasarkan data YCharts, kapitalisasi pasar Sea Group US$ 44,59 miliar per akhir pekan lalu (20/5). Nilainya turun drastis dibandingkan Oktober 2021 sekitar US$ 200 miliar.

Begitu pun Grab yang kini hanya US$ 12,3 miliar. Padahal, valuasi ekuitas berdasarkan pro-forma decacorn Singapura ini diperkirakan sekitar US$ 39,6 miliar atau Rp 578,4 triliun ketika merger dengan perusahaan akuisisi bertujuan khusus atau SPAC Altimeter Growth Corp.

"Ini karena selama ini valuasi startup terlalu tinggi. Maka akan ada koreksi dan itu bukan hal yang buruk. Industri akan jadi lebih sehat," kata CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro kepada Katadata.co.id, Senin (23/5).

Hal senada disampaikan oleh Managing Partner East Ventures Roderick Purwana. “Akan ada perubahan ke pendanaan. Orang cari startup berkualitas dan ada perubahan valuasi,” kata dia, pekan lalu (17/5).

Situs penelitian saham, Seeking Alpha pun menilai bahwa valuasi Sea Group sebelumnya terlalu mahal jika dibandingkan dengan emiten sejenis MercadoLibre, e-commerce asal Argentina.

“Valuasi (saat) ini cukup adil mengingat keterpurukan Sea Group baru-baru ini. Namun masih terlalu murah dibandingkan dengan penilaian historis bisnis dan peningkatan kepemimpinan pasar di pasar-pasar utama,” demikian dikutip dari Seeking Alpha, akhir bulan lalu (21/4).

(BACA JUGA: Startup Cina Dipaksa Masuk 'Daftar IPO Berdarah' saat Marak PHK di RI)

4. Tetap IPO meski valuasi anjlok

Meski valuasi anjlok, startup di Cina tetap mencatatkan saham perdana alias IPO ke publik. Hal ini karena mereka membutuhkan dana, sementara investor menahan transaksi.

"Sebagian besar kesepakatan investasi ditahan. Dan investor semakin waspada dengan valuasi tinggi," ujar Wakil Presiden Yiti Capital yang berbasis di Shanghai, Devin Liu dikutip dari The Ecobomic Times, Jumat (27/5).

Alhasil, startup di Tiongkok terpaksa IPO dengan valuasi yang rendah. CloudWalk Technology misalnya, pra-IPO dengan valuasi 29% lebih rendah.

Padahal startup itu disebut sebagai salah satu dari ‘empat naga’ Cina di bidang kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI).

Lalu, pembuat cip Smarter Microelectronics (Guangzhou) Co berencana IPO dengan valuasi turun 78%, menurut perhitungan berdasarkan rancangan prospektus perusahaan.

Dan Wuxi Shoulder Electronics Co juga segera IPO. Valuasinya merosot sepertiga dari ‘label harga’ di pasar swasta.

Perusahaan teknologi pengenalan wajah yang masuk daftar hitam oleh AS, Megvii Technology Ltd juga berencana IPO di STAR Market. Startup ini sebelumnya upaya gagal IPO di Hong Kong karena sanksi AS.

Valuasi Megvii yang anjlok merugikan pemodal ventura.

5. Pivot

Di Indonesia, beberapa startup mulai melakukan pivot. Dalam istilah perusahaan rintisan, pivoting atau pivot adalah melakukan perubahan strategi untuk mengarahkan bisnis ke situasi yang menguntungkan atau diinginkan.

Tanihub, Zenius, dan LinkAja melakukan penyesuaian bisnis. Alhasil, ada perubahan fungsi beberapa divisi yang berpengaruh juga terhadap pegawai di dalamnya.

Pada Februari, TaniHub menghentikan operasional dua warehouse atau pergudangan yakni di Bandung dan Bali. Startup pertanian ini juga melakukan PHK karyawan.

Senior Corporate Communication Manager TaniHub Group Bhisma Adinaya menjelaskan, perusahaan ingin mempertajam fokus bisnis. Caranya, dengan meningkatkan pertumbuhan melalui kegiatan Business to Business (B2B) seperti hotel, restoran, kafe, modern trade, general trade, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta mitra strategis.

“Nantinya, serapan hasil panen petani semakin membesar. Dengan demikian, kami menghentikan juga kegiatan berkaitan dengan Business to Costumer (B2C) atau yang melayani konsumen rumah tangga,” ujar Bhisma kepada Katadata.co.id, pada Februari (26/2).

Oleh karena itu, perusahaan melakukan PHK karyawan. “Terkait dengan penajaman fokus bisnis ini, memang ada pegawai di dalamnya yang terkena dampak,” kata dia.