Akun Diblokir, Trump Sebut Twitter - Facebook Memecah Belah Bangsa
Twitter dan Facebook memblokir akun Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait kerusuhan di gedung Capitol, Washington DC pekan lalu (6/1). Trump menilai, raksasa teknologi seperti kedua perusahaan ini memecah belah bangsa.
“Saya pikir big tech melakukan hal yang mengerikan bagi negara kita. Saya yakin itu akan menjadi kesalahan yang sangat besar bagi mereka. Mereka memecah belah dan memecah belah,” kata Trump kepada wartawan saat akan melakukan perjalanan ke Texas, dikutip dari Reuters, Rabu (13/1).
Ia pun mengatakan akan ada tindakan balasan atas pemblokiran akun tersebut. Namun, ia tidak memerinci langkah apa yang akan dilakukan.
Pada pekan lalu, Twitter memblokir akun Trump secara permanen, karena cuitannya dikhawatirkan mendorong penghasutan kekerasan. Facebook juga membekukan media sosial pemimpin AS itu hingga pelantikan Joe Biden dan Kamala Harris sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang baru pada 20 Januari.
Pada Selasa (12/1), YouTube milik Google pun menangguhkan channel Trump karena dianggap melanggar kebijakan terkait penghasutan kekerasan. Dengan begitu, saluran ini tidak dapat mengunggah video baru maupun siaran langsung minimal hingga tujuh hari. “Ini dapat diperpanjang,” ujar perusahaan dikutip dari Reuters, Rabu (13/1).
Selain itu, Google, Apple, dan Amazon memblokir aplikasi Parler karena digunakan oleh para penghasut kerusuhan di gedung Capitol. Parler sering digunakan oleh para pendukung Trump.
Amazon memblokir Parler dari layanan hosting cloud, Amazon Web Services (AWS) pada Minggu (10/1) malam. “Dalam beberapa pekan terakhir, AWS melaporkan 98 contoh unggahan yang dengan jelas mendorong dan menghasut kekerasan,” demikian isi surat dari Amazon kepada Kepala Petugas Kebijakan Parler Amy Peikoff dikutip dari CNN Business, Senin lalu (11/1).
Dalam surat tersebut, Amazon menghormati hak Parler untuk menentukan sendiri konten apa yang diizinkan tayang di situs. “Namun, kami tidak dapat memberikan layanan kepada pelanggan yang tidak dapat, secara efektif, mengidentifikasi dan menghapus konten yang mendorong atau menghasut kekerasan terhadap orang lain,” demikian tertulis.
Eropa dan Inggris Khawatir atas ‘Kekuatan’ Raksasa Teknologi
Selain Trump, pejabat Uni Eropa dan Inggris mempertanyakan regulasi raksasa teknologi, setelah Twitter hingga Facebook memblokir akun presiden AS itu. Mereka menilai, perusahaan media sosial memiliki ‘kekuasaan’ untuk menentukan siapa yang tidak dan boleh bersuara.
Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock menilai, tindakan itu menunjukkan bahwa raksasa teknologi mengambil keputusan ‘editorial’. “Ini menimbulkan pertanyaan yang sangat besar tentang bagaimana media sosial seharusnya diatur,” kata dia kepada BBC dikutip dari CNBC Internasional, Senin lalu (11/1).
"Mereka dapat memilih siapa yang tidak dan boleh bersuara di platform," kata Hancock.
Komisaris Uni Eropa untuk pasar internal Thierry Breton mengatakan bahwa CEO raksasa teknologi dapat menghentikan ‘pengeras suara’ potus atau President of The United States tanpa adanya check and balances merupakan hal yang membingungkan.
“Ini tidak hanya menegaskan kekuatan platform, tetapi juga menunjukkan kelemahan yang mendalam terkait cara masyarakat kita diatur di ruang digital,” kata Thierry.
Di Inggris dan Eropa, penerbit seperti surat kabar, memiliki kebebasan tertentu tetapi tetap mengikuti Undang-undang (UU) dan kode etik. Oleh karena itu, mereka dapat dibawa ke pengadilan atau dipaksa untuk mengoreksi konten, jika mempublikasikan hal yang diskriminatif atau memfitnah.
Terkait media sosial, pada 2018, Uni Eropa menerapkan Peraturan Perlindungan Data Umum alias GDPR yang memberikan wewenang lebih besar kepada pengguna atas data mereka. Namun, dengan adanya pemblokiran akun Trump, Inggris dan Eropa mempertanyakan regulasi yang tepat bagi raksasa teknologi seperti Twitter dan Facebook.
Mereka menilai, para big tech ini bertindak sebagai penerbit. Saat ini, Inggris dan Eropa tengah mengkaji aturan baru terkait raksasa teknologi, dalam hal data dan antimonopoli.
"Hukum dan pengadilan Eropa akan terus menetapkan apa yang ilegal, baik offline maupun online, dari pornografi anak, konten teroris, ujaran kebencian, pemalsuan, hasutan, kekerasan hingga pencemaran nama baik, melalui proses demokrasi dan dengan pemeriksaan dan keseimbangan yang sesuai," ujar Thierry.
“Namun saat ini, platform online tidak memiliki kejelasan hukum tentang bagaimana mereka harus memperlakukan konten ilegal di jaringan. Ini membuat masyarakat kita memiliki terlalu banyak pertanyaan tentang kapan konten harus atau tidak boleh diblokir,” kata dia.
Uni Eropa pun meminta Joe Biden, yang mengambil alih pemerintahan AS pada minggu depan, untuk memperhatikan regulasi terkait media sosial. Hal ini karena cakupan raksasa teknologi bersifat global.
“Itulah mengapa Uni Eropa dan AS yang baru harus bergabung, sebagai sekutu dunia bebas, untuk memulai dialog konstruktif yang mengarah pada prinsip-prinsip yang koheren secara global,” kata Thierry.