Nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan pada perdagangan Rabu pagi, rupiah sudah menyentuh Rp 16.428 per dolar AS berdasarkan data Bloomberg.
Sejumlah analis memprediksi pelemahan rupiah bisa mencapai Rp 16.700 per dolar AS sampai akhir tahun 2024. Pelemahan rupiah pada tahun ini masih dibayangi arah suku bunga Bank Sentral AS, The Fed dan kondisi ekonomi dalam negeri.
Analis Mata Uang Lukman Leong memperkirakan pelemahan rupiah di kisaran Rp 16.500 - Rp 16.700 per dolar AS. Namun rupiah juga berpotensi mendekati Rp 17.000 per dolar AS sebelum menguat.
"Itu terjadi setelah The Fed memangkas suku bunga yang saat ini diperkirakan sebanyak dua kali sampai akhir tahun," kata Lukman kepada Katadata.co.id, Rabu (26/6).
Namun menurut Lukman, pelemahan rupiah bergantung pada arah suku bunga Bank Sentral AS dan kondisi geopolitik global. Karena faktor tersebut memberi sentimen terhadap pelaku pasar.
Tak berbeda dengan Lukman, Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra juga melihat pelemahan rupiah pada level resisten di kisaran Rp 16.700 per dolar AS sampai akhir tahun 2024.
Menurut Ariston, pelemahan itu terjadi karena rupiah rentan terhadap perkembangan data inflasi AS. Jika inflasi AS turun, maka tekanan dolar AS terhadap rupiah makin tinggi.
"Peluang pelemahan rupiah masih terbuka. Begitu juga sebaliknya, pelemahan data ekonomi AS juga bisa mendorong kembali penguatan rupiah terhadap dolar," ujar Ariston.
Waswas Kondisi Fiskal RI
Berbeda dengan yang lain, Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana justru memprediksi peluang pelemahan rupiah bisa lebih tinggi lagi yaitu di level Rp 16.800 per dolar AS.
Fikri menyoroti pelemahan rupiah karena terbebani kondisi ekonomi dalam negeri seiring transisi pemerintahan baru. Salah satu yang dikhawatirkan pasar adalah kebijakan fiskal dan sosok menteri yang terpilih untuk menangani bidang ekonomi.
Selain itu, pelaku pasar juga khawatir terhadap defisit transaksi berjalan Indonesia. Tercatat defisit transaksi berjalan mencapai US$ 2,2 miliar pada triwulan I 2024.
"Adapula khawatiran pasar terhadap kondisi geoopolitik dari perang Rusia-Ukraina, Israel-Palestina dan sentimen politik dari Pemilu AS," ujar Fikri.