- Status Garuda Indonesia yang masuk PenundaanKewajiban Pembayaran Utang membuka ruang negosiasi utang melalui pengadilan.
- PR bagi Garuda menyiapkan negosiator ulung agar tercapai kesepakatan dengan para kreditur sehingga tidak pailit.
- Garuda menanti respons kreditur atas proposal restrukturisasi yang mereka tawarkan.
PT Garuda Indonesia Tbk resmi menyandang status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara pada Kamis (9/12). Status tersebut merupakan strategi Garuda dan pemerintah selaku pemegang saham dalam upaya restrukturisasi utangnya.
Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra mengatakan, dengan status PKPU ini bukan berarti maskapai tersebut pailit. Bahkan, badan usaha milik negara (BUMN) tersebut diuntungkan karena mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dengan seluruh kreditur melalui pengadilan.
"Proses ini memberikan ruang bagi Garuda untuk bernegosiasi dengan kreditur dalam koridor hukum," katanya dalam jumpa pers secara virtual usai Garuda berstatus PKPU, Kamis (9/12).
Menurut Irfan, proses ini memperjelas komitmen Garuda dalam menyelesaikan kewajiban usaha. PKPU merupakan langkah akseleratif pemulihan kinerja Garuda yang tertekan akibat tata kelola yang buruk pada masa lalu, ditambah pandemi Covid-19.
Total utang Garuda per September 2021 mencapai US$ 9,75 miliar atau setara Rp 138,97 triliun. Utang tersebut mayoritas kepada pemberi sewa pesawat atau lessors mencapai US$ 6,35 miliar. Sedangkan pinjaman kepada bank totalnya US$ 967 juta.
Utang lainnya dalam bentuk obligasi wajib konversi, sukuk, dan KIK EBA mencapai US$ 630 juta. Adapun pinjaman kepada vendor BUMN US$ 595 juta dan ke vendor swasta US$ 317 juta. Sisanya, liabilitas lain mencapai US$ 751 juta.
Dengan status PKPU, hidup atau matinya Garuda kini ada di tangan kreditur, terutama pemberi sewa pesawat. Pasalnya, jika proses perdamaian ini gagal, Garuda akan jatuh dalam jurang kepailitan.
"Kami akan tekankan bahwa nasib Garuda ini bukan hanya di tangan dari pemegang sahamnya, tapi di tangan krediturnya," kata Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dalam rapat dengar pendapat dengan anggota Komisis VI DPR, Selasa (9/11).
Kementerian BUMN memang mendorong Garuda menyelesaikan perkara utang melalui jalur PKPU karena punya keuntungan, meski berisiko pailit. Keuntungannya, apapun keputusan pengadilan, hasilnya mengikat seluruh kreditur meski ada sebagian kecil yang tidak setuju.
Negosiasi ini bisa memberi Garuda kemampuan menyudahi atau menegosiasi ulang perjanjian sewa yang memberatkan. "Harapannya bisa mengakhiri dan negosiasi ulang seluruh perjanjian," kata Tiko.
Plus-Minus Restrukturisasi Garuda Melalui PKPU
Pengamat penerbangan Gatot Raharjo menilai PKPU ini merupakan upaya cerdik Garuda karena tidak perlu mendatangi satu per satu pemberi pinjaman untuk berunding. Kreditur yang ditunjuk pengadilan akan berkumpul untuk berunding dan diawasi oleh dewan perkara ini.
"Langkah yang sudah baik ini harusnya dibarengi oleh internal Garuda dengan menyiapkan tim perunding yang kompeten, dilengkapi dengan data dan informasi yang akurat dan update," kata Gatot kepada Katadata.co.id, Jumat (10/12).
Menurutnya, Garuda harus tetap beroperasi karena akan lebih meyakinkan para kreditur bahwa masa depan maskapai pelat merah ini masih cerah. Garuda harus benar-benar melakukan restrukturisasi operasional, selain utang-utangnya.
Pemerhati penerbangan lainnya, Alvin Lie menilai PKPU merupakan pilihan yang paling baik untuk Garuda, sebab kreditur dan debitur diberi waktu 45 hari untuk mencapai kesepakatan di pengadilan.
"PKPU merupakan pilihan yang paling baik sebab konsekuensinya para pihak diberi waktu yang singkat," katanya kepada Katadata.co.id.
Gerry Soejatman, pengamat penerbangan menilai PKPU sangat membantu Garuda yang punya lebih dari 800 kreditur untuk dinegosiasikan. Dengan jumlah pemberi utang sebanyak itu, mustahil bila Garuda harus negosiasi satu per satu.
"PKPU bisa mengumpulkan semua kreditur di satu tempat untuk negosiasi massal. Bahkan bagi kreditur asing juga termasuk," kata Gerry kepada Katadata.co.id.
Hasil yang diharapkan dari proses restrukturisasi melalui PKPU adalah kesepakatannya dapat memenuhi persyaratan bank dan punya mengikat secara hukum. Sehingga, Garuda harus mengeksekusi rencana bisnis yang disepakati dengan kreditur dalam proses PKPU ini.
Michael Hadylaya mempunyai pandangan sama. Menurut pengajar Hukum Bisnis Universitas Sampoerna ini, restrukturisasi melalui perundingan di pengadilan bisa menjadi solusi terbaik bagi Garuda jika menghasilkan kesepakatan.
Selain itu, bisa menguntungkan karena seluruh kreditur, baik dalam maupun luar negeri, akan terlibat. "Sepanjang bisa menghasilkan win-win solution, baik bagi debitur dan kreditur, maka bisa jadi PKPU ini adalah solusi terbaik," ujarnya kepada Katadata.co.id.
Michael menilai, strategi Garuda ini sudah tepat karena melibatkan seluruh kreditur sehingga lebih praktis. Selain itu, keuntungan lainnya, hasil perundingannya dituangkan dalam bentuk putusan perdamaian. Sehingga lebih ada jaminan kepastian hukum untuk dipenuhi.
Menurut dia, risiko yang membayangi Garuda dalam menjalankan PKPU ini yakni jika kreditur dan debitur sama-sama berkeras hati sehingga menemui jalan buntu dalam mencapai kesepakatan. "Deadlock ini di PKPU berimplikasi pada kepailitan," katanya.
Gatot Raharjo juga menilai, risiko setiap perundingan restrukturisasi yang gagal adalah pailit bagi Garuda. Tapi pailit bukan berarti bangkrut. Jika pailit, aset Garuda dihitung untuk membayar utang. Kalau masih ada sisa, berarti Garuda masih bisa hidup.
Setiap perusahaan yang melakukan restrukturisasi sudah pasti tahu risiko tersebut. "Seharusnya Garuda sudah mempersiapkan langkah-langkah antisipasi bila terjadi pailit," kata Gatot.
Alvin Lie mengatakan, kalaupun terjadi kesepakatan damai namun Garuda tetap tidak melaksanakan kewajibannya, Garuda akan berstatus pailit. "Risikonya itu, ketika sudah diputuskan tapi tidak dapat dilaksanakan, debitur akan pailit," katanya.
Menanti Nasib Proposal Restrukturisasi Garuda
Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra mengatakan, proposal restrukturisasi sudah dirampungkan dan sudah diajukan kepada kreditur. Meski kreditur belum merespons secara formal, Irfan mengatakan kreditur menyambut positif proposal tersebut.
"Apa yang kami sampaikan itu adalah sebuah proposal yang rasional, masuk akal. Tapi tentu saja respons formal masih kami tunggu," kata Irfan.
Irfan berharap Garuda bisa menerima respons formal dari kreditur dalam waktu dekat agar bisa menjalankan kesepakatan lebih detail secepat mungkin. Dia optimistis, kesepakatan yang didapatkan nanti berbasis kebersamaan antara Garuda dan seluruh kreditur.
Pengamat penerbangan Gatot Raharjo mengatakan, tidak bisa menilai apakah proposal yang diajukan Garuda menarik atau tidak untuk kreditur. Hanya saja, peluang bisnis penerbangan nasional masih sangat bagus meski di tengah pandemi Covid-19.
Indonesia yang merupakan negara kepulauan sehingga butuh transportasi penerbangan. "Asal dikelola dengan benar, baik di internal Garuda maupun eksternal seperti aturan soal bisnis penerbangan nasional yang dibuat pemerintah," kata Gatot.
Peluang bisnis yang masih besar ini, seharusnya bisa menarik minat investor untuk tetap bertahan pada bisnis aviasi di dalam negeri. Kreditur bisa mempertimbangkan hal ini untuk menyepakati restrukturisasi Garuda.
Total utang Garuda ditargetkan turun dari US$ 9,78 miliar menjadi US$ 3,69 miliar, dengan cara memperlakukan utang Garuda ke masing-masing tipe kreditur sebagai berikut:
Kreditur | Perlakuan | Pengurangan Utang |
Utang Pajak dan Karyawan | Dilunasi secara bertahap | 0% |
Kreditur Secured (EDC) | Melalui collateral settlement | 0% |
Obligasi Wajib Konversi | Dikonversi menjadi ekuitas | 0% |
Himbara, Pertamina, Airnav & Gapura | Zero Coupon Bond yang diterbitkan Garuda | 70-85% |
Sukuk, KIK EBA, LPEI dan Bank Swasta | New Coupon Debt dan ekuitas di Garuda | 70-85% |
AP 1, AP 2 & Vendor Usaha Lainnya | New Coupon Debt dan ekuitas di Garuda | 70-85% |
Tunggakan & Klaim Kerusahan Lessors | New Coupon Debt dan ekuitas di Garuda | 70-85% |
Pembelian Pesawat yang Dibatalkan | New Coupon Debt dan ekuitas di Garuda | 70-85% |
Sumber: Paparan Kementerian BUMN di DPR, 9 November 2021 |
Garuda mengklasifikasikan utang berdasarkan masing-masing tipe kreditur yang dibagi menjadi delapan kelompok. Utang pajak dan karyawan akan dilunasi tanpa ada pengurangan nilai utang. Meski begitu, pelunasan utang ini dilakukan secara bertahap.
Selanjutnya, Garuda tidak mengurangi tingkat utang untuk kreditur secured atau kredit dengan jaminan. Penyelesaian utang ini dilakukan melalui penyelesaian agunan (collateral settlement).
Garuda juga akan menyelesaikan utang dalam bentuk obligasi wajib konversi dengan melakukan konversi menjadi ekuitas. Dengan demikian, tidak ada pengurangan nominal utang dalam pelunasannya.
Utang kepada sejumlah BUMN yaitu, Himpunan Bank Negara (Himbara), Pertamina, Airnav, dan Gapura diselesaikan melalui penawaran zero coupon bond dengan tenor selama 20 tahun. Dengan begitu, utang Garuda kepada sejumlah BUMN ini bisa turun 70%-85%.
Sementara itu, utang kepada operator bandara Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II, termasuk utang vendor usaha, Garuda menawarkan utang dengan kupon baru dan ekuitas di Garuda. Dengan demikian, utang yang berasal dari kreditur tersebut bisa turun 70-85%.
Skema penawaran utang dengan kupon baru dan ekuitas di Garuda juga akan ditawarkan kepada kreditur lainnya agar terjadi pengurangan utang sekitar 70-85%. Krediturnya antara lain, pemegang sukuk, KIK EBA, LPEI, dan bank swasta. Lalu utang tunggakan dan klaim lessors. termasuk pembelian pesawat yang dibatalkan akan diselesaikan dengan skema yang sama.
Selain melakukan restrukturisasi kepada kreditur, utang Garuda akan berkurang dengan sejumlah strategi lain, yaitu pengurangan jumlah pesawat. Armada Garuda dan Citilink akan diturunkan dari 202 pesawat pada 2019 menjadi 134 pada 2022 agar selaras dengan rute yang diterbangi.
Selain mengurangi jumlah pesawat, strategi pengurangan utang dilakukan dengan melakukan negosiasi ulang terkait biaya sewa pesawat. Garuda akan melakukan negosiasi ulang atas kontrak sewa pesawat-pesawat yang masih akan digunakan ke depannya.
Melalui renegosiasi tersebut, biaya sewa pesawat Garuda dan Citilink diharapkan dapat turun sebesar 40%-50% dari nilai tarif saat ini.