Advertisement
Advertisement
Analisis | Sampai Kapan Rupiah Tertekan Suramnya Ekonomi Global? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Sampai Kapan Rupiah Tertekan Suramnya Ekonomi Global?

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Dolar Amerika Serikat (AS) telah menguat luar biasa akibat kenaikan tinggi bunga the Fed. Kekhawatiran akan resesi global menyebabkan tekanan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, terancam berlangsung panjang.
Dzulfiqar Fathur Rahman
5 September 2022, 05.35
Button AI Summarize

Resesi sedang membayang-bayangi ekonomi global. Siklus pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS) telah kembali. Dolar Amerika Serikat (AS) pun menguat. Mata uang negara-negara lain, termasuk rupiah, melemah terhadap greenback. Tekanan nilai tukar di pasar menambahkan risiko eksternal, terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Dolar AS, yang merupakan mata uang dominan dalam perdagangan dan investasi global, cenderung menguat dalam beberapa skenario. Ketika pandangan ekonomi dunia sedang suram, para investor biasanya menarik uang mereka dari negara berkembang dan berpaling ke mata uang tersebut—berharap mengurangi risiko dengan aset yang dianggap haven tersebut. Ini sedang terjadi.

Pada Juli, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan dinilai lebih rendah (undervalued) 41,1% dari yang diharapkan, menurut perbandingan harga burger Big Mac setelah mempertimbangkan pendapatan per kapita, berdasarkan data dari The Economist (lihat grafik).

Perbandingan ini menandai bahwa nilai tukar rupiah (terhadap dolar AS) semakin menjauhi level “sebenarnya” berdasarkan teori keseimbangan kemampuan berbelanja (PPP). Namun, tren ini terlihat bukan hanya dalam rupiah. Bahkan, euro ikut melemah terhadap dolar AS dan mencapai titik keseimbangan pada Juli untuk pertama kalinya sejak 2002. (Baca: Era Suku Bunga BI Rendah Berlalu, Selamat Datang Musim Inflasi)

Bank sentral di berbagai negara sedang melakukan normalisasi kebijakan moneter. Namun, lonjakan harga barang dan jasa konsumen telah mendorong mereka untuk bergerak lebih agresif dan cepat dari yang telah diantisipasi sebelumnya, seperti bank sentral AS atau the Fed. Inflasi telah melebihi level yang diharapkan terutama di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Bank Indonesia (BI) juga mengikuti tren ini. Dalam rapat dewan gubernur pada Agustus 2022, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan 25 poin dasar ke 3,75% untuk mengantisipasi tekanan inflasi dari rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan untuk memperkuat nilai tukar rupiah. 

Sampai akhir 2022, BI diperkirakan masih memiliki ruang untuk menaikkan suku bunga acuan hingga 50 poin dasar ke 4,25%, menurut riset Bank Mandiri.  (Baca: Melongok Data Untung - Rugi Pelemahan Rupiah)

Pengetatan kebijakan moneter ini terjadi ketika Eropa sedang menghadapi krisis energi, perang Rusia-Ukraina masih berlangsung, dan Tiongkok masih berupaya menjalankan kebijakan nol Covid-19-nya. 

Dalam Pandangan Ekonomi Dunia (WEO) yang dirilis pada Juli, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan bahwa output ekonomi global akan tumbuh 3,2% pada 2022. Ini menandai revisi ke bawah 0,4 poin dari proyeksi sebelumnya. 

Prospek ekonomi global telah menjadi semakin suram secara signifikan sejak April, menurut Pierre-Olivier Gourinchas, direktur penelitian di IMF. Dunia mungkin akan segera tergoyang ke tepi resesi di tengah risiko-risiko yang mulai terwujud. 

Rupiah, dan mata uang negara-negara lain, dengan demikian mungkin masih akan menghadapi tekanan di tengah ketidakpastian di pasar.

Editor: Aria W. Yudhistira