Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps ke levei 3,75%. Ini merupakan kenaikan suku bunga pertama sejak Februari 2021.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, kenaikan suku bunga ini adalah langkah preventif dan forward looking (melihat ke depan). Langkah ini diambil lantaran adanya risiko kenaikan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga BBM nonsubsidi dan pangan.
“Kebijakan ini untuk memperkuat stabilitas rupiah dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat,” kata Perry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Selasa, 23 Agustus 2022.
Tingkat inflasi umum sudah mencapai 4,94% pada Juli 2022. Sementara, tingkat inflasi inti sudah sebesar 2,86% (yoy). BI memperkirakan tingkat inflasi ini akan terus naik. Inflasi umum diperkirakan dapat mencapai 5,2% dan inflasi inti sebesar 4,15% sepanjang tahun.
Ini juga berarti kenaikan suku bunga dapat terus berlanjut. Tren selama ini menunjukkan level suku bunga acuan selalu di atas level inflasi. Adapun tingkat inflasi sudah melewati level suku bunga acuan sejak April 2022.
Meski tingkat inflasi sudah melampaui suku bunga, tingkat inflasi inti masih berada di bawah level suku bunga acuan. Fakta ini dapat menjadi salah satu alasan BI sebelumnya sempat menahan kenaikan suku bunga meski tingkat inflasi sudah tinggi.
Prediksi inflasi inti dari BI yang dapat mencapai hingga lebih dari 4% berarti bukan tidak mungkin suku bunga acuan akan terus naik dalam bulan-bulan selanjutnya.
Potensi kenaikan suku bunga acuan lebih tinggi juga sempat disinggung Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sri Mulyani mengatakan, beberapa analis memperkirakan suku bunga acuan dapat mencapai level 4,5% pada akhir tahun.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengapresiasi langkah BI menaikkan suku bunga. Dia juga menyoroti inflasi di tingkat produsen sudah jauh lebih tinggi dari inflasi tingkat konsumen.
(Baca: Musim Mengerek Tinggi Suku Bunga)
Mengutip data BPS, inflasi harga produsen sudah mencapai 11,77% pada kuartal II-2022. Tingkat inflasi produsen ini didorong sektor pertambangan yang inflasinya sudah mencapai 82,96% dan angkutan udara penumpang yang sudah 23,92%.
Sektor-sektor yang berdampak langsung ke konsumen masih mengalami inflasi yang cukup rendah. Tingkat inflasi industri pengolahan tercatat sebesar 4,51%, pertanian 6,37%, pengadaan listrik dan gas 0,49%, serta penyediaan makanan dan minuman sebesar 1,54%. (Baca: Melongok Data Untung-Rugi Pelemahan Rupiah)
“Inflasi di tingkat konsumen juga akan naik pada akhirnya. Dengan menaikkan bunga, BI menjaga ekspektasi inflasi. Ini akan membuat inflasi terjaga,” ujar Chatib Basri dalam akun Twitter-nya @ChatibBasri pada Rabu, 24 Agustus 2022.
Keputusan Bank Indonesia untuk menaikkan bunga 25 bps menurut saya adalah langkah yang baik. Dengan ini dicoba dilakukan forward guidance utk mengelola ekspektasi inflasi. Kita tahu inflasi ditingkat produsen sdh jauh lebih tinggi dibanding di tingkat konsumen— M. Chatib Basri (@ChatibBasri) August 23, 2022
(Baca: Ekonomi Melesat tapi Kesenjangan Kian Melebar Pasca-Krisis 1998)
Menurutnya, ini pilihan yang tepat ketimbang BI menunggu inflasi naik dulu baru menaikkan bunga (behind the curve) sehingga kenaikan suku bunga akan lebih tajam. Kenaikan suku bunga yang tajam dapat berdampak lebih berat terhadap ekonomi.
Editor: Aria W. Yudhistira