Dua Tangan Grab untuk Kuasai Bisnis Fintech di Indonesia
Grab memimpin pendanaan seri B perusahaan teknologi finansial (fintech) pembayaran milik negara, Fintek Karya Nusantara (Finarya) atau LinkAja, yang diumumkan Selasa (10/11). Langkah ini memperkuat posisi decacorn Singapura itu di sektor keuangan Indonesia.
Berdasarkan data CB Insights, Grab dan Tokopedia merupakan investor OVO. Data Crunchbase juga menunjukkan, pesaing Gojek itu masuk ke OVO pada September 2019. Dua bulan setelahnya, pendiri sekaligus pemilik Lippo Group Mochtar Riady menyatakan telah menjual dua pertiga saham di fintech bernuansa ungu itu.
Masuknya Grab ke OVO dan LinkAja memperkuat posisinya di sektor keuangan. “Ini memasuki era ‘yang kuat yang menang’,” kata Managing Partner Kejora Ventures Eri Reksoprodjo, kepada Katadata.co.id, Rabu (11/11), menanggapi investasi Grab di LinkAja.
Ia menilai, bisnis LinkAja menarik bagi raksasa teknologi dan investor. “Pangsa pasarnya sangat besar, nasabah bank himpunan milik negara (Himbara) dan swasta. Bisa ratusan juta,” kata Eri.
Pada pertengahan tahun lalu, direksi LinkAja menyampaikan akan memanfaatkan laku pandai milik Himbara untuk menyasar pengguna di daerah. Selain itu, menyediakan layanan bagi pengguna ponsel klasik (feature phone) melalui Unstructured Supplementary Service Data (USSD) *800#.
Ada 1,5 juta titik kontak finansial lewat layanan konvensional di Indonesia | |
Layanan | Jumlah |
Cabang bank | 38.000 |
ATM milik bank | 103.953 |
EDC | 500.000 |
Laku Pandai | 700.000 |
Layanan Keuangan Digital (LKD) | 200.000 |
Sumber: paparan Kementerian Kominfo pada akhir 2018
Saat ini, fintech berpelat merah itu memiliki lebih dari 58 juta pengguna terdaftar. Sebanyak 80% lebih di antaranya berasal dari kota tingkat (tier) dua dan tiga Indonesia.
Sedangkan nilai transaksi bruto (gross transaction value /GTV) tercatat tumbuh tiga kali lipat secara tahunan (year on year/yoy) selama kuartal III, meski ada pandemi corona.
Untuk menjangkau konsumen di tier dua dan tiga, LinkAja memperluas ekosistemnya. Fintech ini menyediakan layanan tarik tunai dan isi saldo atau cash in cash out di satu juta titik.
Selain itu, masuk ke platform Gojek dan Grab. Kemudian menyediakan layanan pembayaran di sejumlah pasar tradisional.
Meski penetrasi internet masih terpusat di pulau Jawa, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) mencatat pertumbuhan pengguna di wilayah lain mulai meningkat. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:
LinkAja juga meluncurkan platform khusus syariah pada April lalu. Saat ini, jumlah penggunanya mencapai satu juta.
Untuk infaq digital, perusahaan bekerja sama dengan 1.000 masjid. Lalu bermitra dengan 11 lembaga untuk wakaf dan 23 penyedia layanan zakat. LinkAja juga bekerja sama dengan 67 institusi untuk menyediakan layanan donasi.
Fintech di bawah badan usaha milik negara (BUMN) itu pun menargetkan bisa menyediakan layanan pembayaran untuk haji dan umrah. Perusahaan juga sudah berdiskusi dengan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag).
Dengan perkembangan bisnis tersebut, Grab pun memimpin pendanaan seri B kepada LinkAaja US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun. Telkomsel, BRI Ventura Investama dan Mandiri Capital Indonesia berpartisipasi dalam investasi ini.
Sebelumnya, LinkAja hanya memperoleh dana segar dari perusahaan milik negara. “Kami memilih untuk berinvestasi di LinkAja karena bersama-sama dapat mengakselerasi tujuan dalam mempercepat inklusi finansial di Indonesia,” Managing Director of Grab Indonesia Neneng Goenadi dikutip dari siaran pers, Selasa (10/11).
Ia menilai, kolaborasi strategis Grab beserta ekosistemnya yakni OVO dan Tokopedia dengan LinkAja, memungkinkan perusahaan menyediakan beragam layanan tanpa uang tunai bagi semua lapisan masyarakat. “Dengan aman, nyaman dan mudah diakses," katanya.
Sedangkan OVO memimpin dengan 20% pangsa pasar uang elektronik di Indonesia pada tahun lalu, berdasarkan data Bank Indonesia (BI). Sedangkan GoPay besutan Gojek dan Bank Mandiri masing-masing 19%.
Kemudian DANA dan BCA 10%. Lalu, BRI 6,3%, LinkAja 5,8%, ShopeePay 3,7%, BNI 1,3%, dan Doku 1,2%.
2015 | 2019 | ||
Perusahaan | Pangsa pasar % | Perusahaan | Pangsa pasar % |
Bank Mandiri | 20 | OVO | 20 |
BCA | 19 | Bank Mandiri | 19 |
XL Axiata | 19 | GoPay | 19 |
BRI | 10 | DANA | 10 |
Telkomsel | 10 | BCA | 10 |
Bank Mega | 1,1 | BRI | 6,3 |
BNI | 1 | LinkAja | 5,8 |
Bank DKI | 0,8 | ShopeePay | 3,7 |
Indosat | 0,4 | BNI | 1,3 |
CIMB Niaga | 0,1 | Doku | 1,2 |
Sumber: BI
Data tersebut selaras dengan survei terbaru APJII yang menunjukkan bahwa OVO unggul tipis dibandingkan GoPay. Sebanyak 6,5% dari 7.000 responden menggunakan OVO, sementara GoPay 5,9%.
Head of Corporate Communication OVO Harumi Supit mengatakan, perusahaan berfokus pada kolaborasi, seperti dengan pemerintah dan industri lain untuk meningkatkan penggunaan (usecase). Salah satu bentuk kerja samanya yakni menjadi mitra resmi penyalurkan insentif Kartu Prakerja.
Selain itu, mendukung Perusahaan Listrik Negara (PLN) mendistribusikan pencairan subsidi tagihan listrik. Juga menerapkan standar kode QR standar atau QRIS. "Kami juga meningkatkan kualitas layanan dan produk," ujar Harumi kepada Katadata.co.id, Selasa (10/11).
Layanan OVO tersedia di 373 kota dan kabupaten. Selain itu, menggaet 700 ribu mitra penjual (merchant) baik korporasi maupun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Selama pandemi virus corona, perusahaan mencatat kenaikan transaksi pada beberapa layanan. Pembayaran e-commerce misalnya, naik 110%. Lalu, jasa pengiriman makanan naik 15% lebih dan pencarian dana pinjaman hampir 50%. Jumlah penggunanya juga tumbuh 276%.
Meski data BI menunjukkan OVO menguasai pasar uang elektronik di Tanah Air, iPrice dan App Annie mencatat bahwa GoPay menempati peringkat teratas dari sisi jumlah pengguna pada kuartal II. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:
Di satu sisi, raksasa e-commerce asal Tiongkok, Alibaba dikabarkan dalam pembicaraan dengan Grab terkait investasi US$ 3 miliar atau sekitar Rp 44,5 triliun. Jika hal ini terjadi, potensi OVO dan DANA merger dinilai semakin besar.
Sebab, anak usaha Alibaba yakni Ant Group berinvestasi di DANA. “Lebih banyak pembicaraan seperti itu (merger), mungkin menyusul (di tengah diskusi Alibaba dan Grab),” demikian kata Pendiri perusahaan venture builder berbasis di Singapura, Momentum Works Li Jianggan, dikutip dari ChannelNewsAsia, September lalu (23/9).
Namun OVO dan DANA enggan berkomentar mengenai potensi merger yang meningkat, jika Alibaba menyuntikkan dana ke Grab.
DANA memiliki 40 juta pengguna per Juni lalu. Selama pandemi virus corona, fintech ini mengembangkan 22 lebih layanan baru sehingga transaksinya meningkat 50% sejak awal tahun hingga Mei.
Fitur itu di antaranya portal siaga Covid-19, konsultasi kesehatan secara digital dengan menggaet YesDo hingga home shopping and nearby. Yang terbaru, perusahaan mengaet Parkee dan Pluang untuk menyediakan layanan pembayaran parkir dan investasi emas.
Sedangkan Grab dikabarkan dalam pembicaraan dengan investor untuk mendapatkan investasi US$ 300 juta hingga US$ 500 juta (Rp 4,4 triliun-Rp 7,4 triliun). Dana segar ini disebut-sebut untuk memperkuat bisnis keuangannya atau Grab Financial.
Sumber Reuters yang menolak diidentifikasi sebagai calon investor yang belum dipublikasikan, mengungkapkan bahwa Prudential Plc dan AIA Group Ltd terlibat dalam pendanaan tersebut. “Perusahaan asuransi kemungkinan akan berkontribusi setengah dari target,” demikian kata sumber, dikutip dari Reuters, September lalu (8/9).
Salah satu eksekutif yang mengetahui persoalan tersebut mengatakan, Grab Financial ingin memperkuat merek, sehingga bisa beroperasi secara mandiri. “Tidak jelas apakah dana US$ 300 juta akan berasal dari investasi luar, suntikan tunai dari Grab atau campuran keduanya,” demikian dikutip dari FinanceAsia, pada Maret lalu (17/3).
Grab Financial Group didirikan pada Maret 2018. Unit bisnis ini berfokus mengembangkan tiga layanan yakni pembayaran, perlindungan, dan pinjaman.
Sebelumnya, Head of Financial Services Grab Ankur Mehrotra menyebutkan bahwa peluang pasar bisnis keuangan ini 20 kali lebih besar dibanding layanan berbagi tumpangan (ride-hailing). Sebab, ada sekitar 300 juta orang yang tidak memiliki rekening bank di wilayah cakupan Grab, yakni Asia Tenggara.
Google, Temasek, dan Bain dalam laporan bertajuk e-Conomy SEA 2020 memperkirakan, nilai ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara mencapai US$ 105 miliar atau sekitar Rp 1.475 triliun pada tahun ini. Sebanyak US$ 44 miliar atau Rp 619 triliun di antaranya disumbang oleh Indonesia.
Pada 2025, nilai ekonomi digital di regional diprediksi tumbuh 24% menjadi US$ 309 miliar. Sedangkan Indonesia diramal meningkat 23% menjadi US$ 124 miliar. Angka ini menurun dibandingkan proyeksi 2019 yang mencapai US$ 133 miliar.
Untuk sektor keuangan seperti fintech, transaksinya diprediksi tumbuh pada semua jenis layanan. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel di bawah in:
Layanan | Kenaikan yoy | GMV 2020 US$/miliar | Kenaikan dibanding 2020 | GMV 2025 US$/miliar |
Pembayaran | 3 % | 620 | 15 % | 1.200 |
Remitansi | 43 % | 15 | 18 % | 35 |
Asuransi | 30 % | 2 | 31 % | 7,6 |
Pinjaman | 0 % | 23 | 32 % | 92 |
Investasi | 116 % | 21 | 32% | 84 |
Sumber: laporan Google, Temasek dan Bain and Company bertajuk e-Conomy 2020
Google, Temasek, dan Bain and Company mencatat, UMKM dan konsumen mulai mengadopsi layanan keuangan digital. “Perubahan perilaku akan berlanjut. Adopsi dan penetrasinya diprediksi meningkat,” demikian dikutip.