Mampukah Omnibus Law Atasi Defisit Pekerja Digital pada Startup?

Desy Setyowati
15 Oktober 2020, 14:00
Mampukah Omnibus Law Atasi Persoalan Minim Pekerja Digital di Startup?
Jakub Jirsak/123rf
Ilustrasi

CEO Traveloka Ferry Unardi sempat menyampaikan bahwa isu minimnya talenta dapat diatasi melalui kemitraan dengan perguruan tinggi. “Banyak orang cerdas di Indonesia,” kata dia dalam acara 1st NextICorn International Summit, di Bali Nusa Dua Convention Center, Bali, pada 2018 lalu.

Namun, Traveloka juga membangun fasilitas riset, teknologi, dan pengembangan bernama Traveloka India Pvt. Ltd di Bangalore, India pada awal tahun lalu. Pusat inovasi ini didukung tim ahli di India dan global.

Dampak Omnibus Law terhadap Startup dan Pekerja Indonesia

Berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 228 Tahun 2019, ada 18 industri yang bisa ditempati oleh tenaga kerja asing. Salah satunya, bidang informasi dan telekomunikasi, dengan total 244 posisi kerja.

Untuk golongan pemrogaman, konsultasi komputer, dan kegiatan yang berhubungan, ada lima bagian yang bisa diisi oleh pekerja asing. Kelimanya yaitu manajer keuangan, pemasaran, rekayasa sistem, penasihat keuangan, dan ahli teknik kesisteman.

Dengan adanya Omnibus Law, perizinan bagi startup untuk mendapatkan talenta asing dipermudah. Ini sebagaimana tertuang dalam klaster ketenagakerjaan.

Berdasarkan data marketplace pencarian kerja, Ekrut, ada kenaikan permintaan SDM di bidang teknologi informasi pada tahun ini. Rinciannya, kebutuhan data analyst dan scientists naik 76,59%, pemasaran merek 66%, perencana strategi 62,78%, full stack engineer 50,85%, dan keamanan siber 23,91%.

Gaji yang ditawarkan beragam, mulai dari Rp 19 juta hingga Rp 20 juta per bulan untuk pekerja berpengalaman tiga sampai lima tahun.

Hal senada disampaikan oleh perusahaan penyedia situs lowongan kerja hingga menyuplai calon pekerja, TopKarir. Ada lima jenis pekerjaan yang diburu oleh banyak korporasi, yakni staf penjualan, pemasaran, pelayanan konsumen, data analisis, dan data scientist.

Di satu sisi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pekerja dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah mendominasi penyerapan tenaga kerja per awal 2019. Rinciannya terlihat pada Databoks di bawah ini:

Sedangkan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan perguruan tinggi menempati urutan teratas dengan jumlah pengangguran terbanyak pada awal tahun ini. Secara rinci dapat dilihat pada Databoks berikut:

Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2015 yang diolah oleh Lembaga Demografis Universitas Indonesia, ketidaksesuaian tingkatan pendidikan di Indonesia 53,33% dari skala vertikal. Sedangkan ketidakcocokan berdasarkan skala horizontal mencapai 60,52%. Data ini berdasarkan survei terhadap 12,4 juta responden lulusan diloma I ke atas.

Sedangkan riset McKinsey dan Bank Dunia menunjukkan, Indonesia membutuhkan sembilan juta tenaga digital hingga 2030. Ini artinya, ada kebutuhan 600 ribu pekerja digital per tahunnya.

Di tengah tingginya permintaan, riset Sea Group terhadap 14 ribu responden berusia di bawah 36 tahun menunjukkan, generasi muda Indonesia lebih tertarik menjadi wirausahawan atau Pegawai Negeri Sipil (PNS). Rinciannya sebagai berikut:

Google, Temasek, dan Bain dalam laporan bertajuk e-Conomy SEA 2019 juga menyebutkan, minimnya talenta menjadi tantangan industri digital di Indonesia. “Ini menjadi tantangan yang belum terselesaikan bagi ekosistem,” demikian dikutip, pada akhir tahun lalu.

Padahal, nilai ekonomi berbasis internet di nusantara diprediksi US$ 40 miliar tahun lalu dan US$ 133 miliar pada 2025. Rinciannya dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:

Namun, Google mencatat bahwa industri digital di Indonesia semakin matang ke titik di saat para pendiri berpengalaman dan karyawannya membentuk usaha baru dan meneruskan pengalaman mereka. “Orang Asia Tenggara yang pindah ke luar negeri untuk belajar dan memulai karier juga menanggapi panggilan ini. Lebih banyak dari mereka yang pulang untuk bergabung atau mendirikan startup,” demikian dikutip dari laporan.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira sepakat bahwa perusahaan rintisan bisa menggaet diaspora Indonesia. “Kenapa tidak ada upaya serius menarik pulang talenta digital yang berkarya di perusahaan asing di luar negeri? Sebelum buru-buru membuka lebar pintu tenaga kerja asing. Ini logika yang aneh,” kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (15/10).

Selain itu, ia mencatat bahwa ketersediaan lulusan teknologi informatika di Indonesia mencapai 50 ribu hingga 70 ribu per tahun. Ini berasal dari perguruan tinggi, sekolah vokasi dan akademi.

Apalagi, jumlah lulusan universitas di Indonesia terus meningkat. Ini tecermin pada Databoks di bawah ini:

Jika lulusan tersebut tidak terserap, maka berpotensi menambah angka pengangguran di Tanah Air. “Kalau permasalahannya skill missmatch, ini tugas perguruan tinggi dan pemerintah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan industri. Jalan pintas dengan memudahkan pekerja asing masuk masuk tanpa rencana penggunaan dan izin, justru blunder bagi serapan tenaga kerja lokal di startup,” ujar Bima.

Sedangkan dinas ketenagakerjaan mencatat bahwa total tenaga kerja asing saat ini 98.902 orang. Sebanyak 35.781 dari Tiongkok, lalu Jepang 12.823 dan Korea Selatan 9.097 orang.

Kemudian India 7.356, Malaysia 4.816, Filipina 4.536, AS 2.596, Australia 2.540, Inggris 2.176, Singapura 1.994, dan negara lainnya 15.187 orang. Sedangkan data per 2018 dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:

Sedangkan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sempat menyampaikan bahwa pemerintah akan mengatur perihal transfer teknologi dari pekerja asing di dalam UU Omnibus Law. “Untuk jabatan-jabatan tertentu yang memang kita tidak memiliki ahlinya diharapkan ada transfer pengetahuan,” katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Februari lalu (17/2). 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...