Solusi Semu dari Adonan Biomassa - Batu Bara pada Pembangkit PLN

Image title
25 Januari 2021, 16:42
PLTU, PLN, Kementerian ESDM, emisi karbon, lingkungan
123rf.com/pitinan
Ilustrasi. PLN meningkatkan teknologi co-firing untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) demi menggenjot target bauran energi.

Menurut Badan Energi Internasional atau IEA, untuk mencapai status negara tanpa emisi, maka seluruh PLTU harus diganti dengan energi terbarukan di 2030. “Saya lihat program co-firing adalah upaya untuk memperpanjang usia operasi PLTU,” kata Fabby. 

Pembangkit batu bara merupakan penghasil emisi terbesar di dunia. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan penghasil emisi karbondioksida terbesar secara sektor. 

Padahal, pada 2027 hingga 2028, keberadaan PLTU milik PLN sebagian besar operasinya akan lebih besar karena usia pembangkit sudah tua. Biaya produksi listrik akan lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS. “Pembicaraan mengenai co-firing PLTU belum memasukkan perhitungan teknis ekonomis jangka pendek dan panjang,” ucapnya. 

PLTU Ombilin
Ilustrasi. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).  (ANTARA FOTO/IGGOY EL FITRA)

Co-Firing Dianggap Tak Ekonomis

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat program ini tidak substantif dalam mendorong energi bersih dan terbarukan. Pemanfaatan biomassa sebagai campuran batu bara untuk bahan baku PLTU adalah hal yang keliru dan merupakan solusi semu. 

Bahan baku yang digunakan untuk co-firing adalah sampah dan limbah hasil perkebunan, seperti cangkang sawit (palm kernel shell/PKS). Nah, bisnis perkebunan memerlukan lahan yang luas dan cenderung tidak ramah lingkungan. Karena itu, penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada sektor energi tidak akan bisa ditekan hanya dengan teknologi pencampuran bahan bakar semata.

Porsi sampah dan limbah hasil hutan hanya 1 hingga 5%, sisanya 95% tetap menggunakan batu bara. Berdasarkan penelitiannya, pencampuran 5% co-firing hanya akan mengurangi emisi GRK pada PLTU sebesar 5,4%. 

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh PLN, dibutuhkan 5 juta ton wood pellet per tahun atau 738 ribu ton sampah pelet per tahun hanya untuk memenuhi kebutuhan 1% co-firing per tahun pada 18 ribu megawatt (MW) PLTU batu bara yang sudah ada. Dengan target penerapan co-firing sebesar 10%, maka volume sampah maupun PKS yang dibutuhkan akan lebih besar.

Dari sisi polusi udara, penggunaan co-firing dengan tujuan mengurangi emisi berbahaya dari PLTU batu bara, tidak akan maksimal jika tidak didorong dengan teknologi pengaturan polusi udara atau air pollution control (APC) yang baik. 

Selain itu, pencampuran pellet kayu dan sampah pada PLTU sebagai bahan bakar yang tidak disertai dengan pengelolaan emisi dengan baik, akan semakin membahayakan. Polutan yang dihasilkan beracun dan dapat mencemari lingkungan. "Nah APC-nya ini yang tidak ekonomis karena PLTU harus retrofitting (memasang mesin baru),” kata Tata.

Selain tidak akan menyelesaikan emisi yang besar dari penggunaan PLTU batu bara. co-firing dinilai menjadi tidak ekonomis. Solusi yang sebenarnya adalah tetap transisi dari fosil ke energi bersih dan terbarukan.

Pengamat energi Universitas Gadjah Mada Fahmi Radi menilai saat ini bahan bakar pembangkit PLN sekitar 57% menggunakan batu bara. Dengan konversi batu bara dan co-firing biomassa pada PLTU akan menaikkan bauran energi sekitar 20%.

Butuh investasi besar untuk membiayai teknologi tersebut. Selama PLTU mencapai kapasitas normal, pengeluaran investasi tersebut masih ekonomis.

Menurut dia, pencapaian target EBT 23% tidak serta merta hanya menjadi beban PLN. "Namun dengan konversi batu bara dan co-firing biomassa, PLN memberikan kontribusi sekitar 5% dari target EBT 23%," katanya.

Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa berpendapat program co-firing cukup bagus untuk dilaksanakan dalam rangka  meningkatkan bauran energi EBT. Hal ini lantaran bahan bakar yang digunakan potensinya besar di Indonesia. 

Kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik pada 2020/2021 diperkirakan sebesar 98 juta ton. Dengan co-firing sekitar 1% hingga 5%, maka kebutuhan pelet atau briket biomassanya sebanyak 1 juta ton hingga 5 juta ton. "Tentang ekonomis atau tidak bergantung terhadap kebijakan pemerintah tentang insentif,"ujarnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...