Dinilai Bebani PLN, ESDM Tak Keberatan "Take or Pay" dalam RUU EBT

Image title
23 Juli 2021, 14:04
ruu ebt, take or pay, pln
Donang Wahyu|KATADATA
Petugas PLN mengecek panel surya di rumah pelanggan di Jalan Mangunsankoro, Menteng, Jakarta Pusat.

Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara sebelumnya mengatakan bahwa skema take or pay menimpakan risiko usaha kelistrikan kepada negara. Dalam mekanisme itu, negara melalui PLN harus membayar penyedia listrik swasta (IPP) sesuai kontrak meski dayanya tidak terpakai.

“Investor itu menjadi seolah-olah tidak ikut menanggung potensi kerugian. Padahal dalam bisnis ada untung ada rugi,” kata dia, dalam keterangan tertulis Senin (19/7).

Menurutnya mekanisme take or pay memastikan keuntungan bagi IPP atau investor. Sementara bagi negara dan PLN, untung atau rugi harus ditanggung. Oleh karena itu, mekanisme tersebut tidak bisa diterima.

“Kalau PLN bermasalah bisa bangkrut, dikuasai asing atau swasta. Bagi pelanggan itu bisa listrik bisa mahal, kalau pun PLN tidak bangkrut maka PLN harus menaikkan biaya pokok tarif,” ujarnya.

Dia pun menyayangkan mekanisme tersebut sudah berjalan dalam penyediaan listrik oleh PLTU dari IPP. Adapun dalam rancangan undang-undang energi baru terbarukan (EBT) yang tengah dibahas di DPR, kata Marwan, mekanisme serupa juga akan diterapkan.

Dalam RUU itu ditetapkan, PLN wajib membeli berapapun daya yang disediakan IPP EBT swasta. Kewajiban itu tidak memandang apakah PLN butuh atau tidak.

Marwan mengingatkan, bahwa saat ini PLN sedang kelebihan daya. Dampak berat take or pay paling terasa sejak 2019. Konsumsi listrik turun, sementara biaya yang harus dibayar tetap. Pandemi membuat konsumsi semakin turun. Sekarang cadangan daya sudah di atas 35% dari idealnya 30%.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...