Memahami Tujuan Pemungutan Cukai, dan Karakteristik Objeknya
Cukai merupakan jenis pungutan atas konsumsi yang bersifat spesifik, baik yang diproduksi secara domestik maupun dari luar negeri (impor).
Dalam konteks global, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengklasifikasikan cukai sebagai jenis pajak tidak langsung, yang dikenakan atas barang dan jasa secara spesifik.
Selain itu, dalam terminologi OECD, cukai dikenakan pada tahap produksi atau distribusi. Berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang dikenakan atas segala jenis konsumsi barang secara umum, cukai hanya dikenakan pada produk-produk tertentu yang bukan merupakan bagian dari klasifikasi pajak umum, bea masuk, dan bea keluar.
Mengutip penelitian berjudul "Theory and Practice of Excise Taxation: Smoking, Drinking, Gambling, Polluting, and Driving", oleh Sijbren Cnossen, cukai memiliki ciri-ciri bersifat selektif dalam cakupannya, dan diskriminatif dalam tujuan pengenaannya, serta ditentukan oleh pengukuran unit kuantitatif.
Tujuan Pemungutan Cukai
Pemungutan cukai tidak hanya dilakukan demi meningkatkan penerimaan negara, seperti layaknya pajak. Lebih dari itu, cukai mempunyai tujuan khusus dalam pemungutannya.
Dalam penelitian berjudul "The Case for Selective Taxes on Goods and Services in Developing Countries", Cnossen menjelaskan pemungutan cukai memiliki berbagai tujuan dalam penerapannya.
Menurutnya, tujuan pemungutan cukai adalah untuk mengendalikan konsumsi, menginternalisasi nilai-nilai disekonomi, pengganti biaya perbaikan sarana publik, dan meningkatkan efisiensi dari penggunaan sumber daya.
Lebih lanjut, berdasarkan aspek regulasi, cukai umumnya melibatkan beberapa bentuk pengukuran fisik atas kontrol oleh otoritas cukai untuk menentukan besarnya pajak terutang, dan memastikan kepatuhan terhadap hukum.
Besaran cukai dapat dicermati dari aspek fisik yang menyertainya. Aspek fisik dapat terlihat dari cap yang terdapat pada produk. Inilah yang kemudian membedakannya dari pengutan tidak langsung lainnya, yang pengendalian kepatuhannya hanya dinilai dari aspek administratif, seperti halnya pembukuan.
Barang-barang yang dikenakan cukai dapat berupa jenis barang yang diproduksi domestik, untuk dijual di suatu negara atau barang yang diimpor, dan kemudian dijual di negara tersebut.
Pada awal perkembangan cukai, beberapa negara hanya mengenakan cukai atas produk-produk yang diproduksi domestik. Seiring perkembangannya, cukai juga dikenakan sebagai bentuk pengganti atas pungutan yang awalnya dikenakan atas produk yang diimpor.
Sementara, menurut pandangan Kristiaji dan Yustisia dalam penelitan berjudul "Komparasi Objek Cukai Secara Global dan Pelajaran Bagi Indonesia", ada empat motif suatu negara menerapkan cukai.
Empat motif tersebut antara lain, sebagai sumber penerimaan negara, dan mengendalikan eksternalitas negatif. Kemudian, mengendalikan industri, dan untuk mengubah perilaku konsumen.
Di Indonesia sendiri, cukai berfungsi sebagai pengendali konsumsi barang tertentu. Utamanya terhadap produk/barang yang mempunyai sifat dan karakteristik membahayakan kesehatan, lingkungan, dan keamanan masyarakat.
Karakteristik Objek Cukai
Mengutip ddtc.co.id, terdapat sifat selektif pada sistem cukai. Sifat tersebut tercermin dari jenis komoditas dan tingkat tarif yang ditentukan secara terpisah untuk setiap komoditas. Artinya, ada karakteristik atau ciri khusus dari barang dan/atau jasa yang dikenakan cukai.
Setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda-beda dalam menentukan objek cukai. Namun, secara tradisional, mayoritas negara mengenakan cukai terhadap tiga jenis komoditas, yakni minuman keras, produk tembakau, dan bahan bakar.
Mengutip penelitian berjudul "Excise Taxes" oleh McCarten dan Stotsky, ada empat karakteristik produk dan jasa yang dapat dikenakan cukai, yakni sebagai berikut.
- Proses produksi, distribusi, dan penjualan dapat diawasi secara ketat oleh pemerintah. Hal ini digunakan untuk memastikan rendahnya kemungkinan terjadinya pelanggaran pajak.
- Permintaan bersifat inelastis terhadap harga. Hal ini berarti bahwa apabila harga naik, maka penurunan konsumsi akan kurang dari persentase kenaikan harga. Hal ini kemudian berdampak pada kenaikan penerimaan dan hanya menyebabkan distorsi yang rendah di pasar.
- Produk atau jasa merupakan barang yang dianggap mewah dan bukan merupakan kebutuhan pokok.
- Konsumsi atas produk menimbulkan eksternalitas negatif atau biaya sosial.
Di Indonesia sendiri, pemerintah telah menetapkan karakteristik barang yang dikenakan cukai, yang termaktub dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai atau UU Cukai.
Dalam ketentuan tersebut, terdapat empat sifat atau karakteristik barang-barang tertentu yang dikenakan cukai. Pertama, konsumsinya perlu dikendalikan. Kedua, peredarannya perlu diawasi.
Ketiga, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Keempat, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Adapun, yang dimaksud dengan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara dalam rangka keadilan dan keseimbangan adalah, pungutan cukai dapat dikenakan terhadap barang yang dikategorikan sebagai barang mewah dan/atau bernilai tinggi.
Meski demikian, barang yang dimaksud bukan merupakan kebutuhan pokok. Sehingga, keseimbangan pembebanan pungutan antara konsumen yang berpenghasilan tinggi, dan konsumen yang berpenghasilan rendah, tetap terjaga.
Barang-barang yang memenuhi karakteristik sebagaimana dijelaskan di atas dinyatakan sebagai barang kena cukai. Saat ini, Indonesia memiliki tiga komoditas yang dikenakan cukai, antara lain etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau.