Sejarah Pengampunan Pajak di Indonesia dari Masa ke Masa

Image title
9 Februari 2024, 12:00
Pajak
ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Ilustrasi, petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melayani wajib pajak yang mengikuti program pengampunan pajak atau tax amnesty.

Melalui UU 28/2007, DJP memiliki kewenangan menghimpun data perpajakan dan mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya untuk memberikan data. Ketentuan ini memungkinkan otoritas pajak mengetahui ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat.

Oleh karena itu, untuk menghindarkan masyarakat dari pengenaan sanksi perpajakan yang timbul, pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mulai memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela dan melaksanakannya dengan benar.

Wajib pajak yang dapat memanfaatkan Sunset Policy antara lain:

  • Orang pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang pada 2008 secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2007 dan tahun-tahun pajak sebelumnya, paling lambat 31 Maret 2009.
  • Wajib pajak orang pribadi dan badan yang telah memiliki NPWP sebelum 2008, yang menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan tahun-tahun pajak sebelumnya untuk melaporkan penghasilan yang belum diperhitungkan dalam pelaporan SPT Tahunan PPh yang telah disampaikan.

Sejatinya Sunset Policy ini bukan sepenuhnya pengampunan pajak. Sebab, kebijakan ini menghapuskan sanksi denda administrasi dengan tetap membayarkan pokok pajak bagi wajib pajak orang pribadi dan badan secara penuh, sesuai dengan tarif umum yang berlaku berdasarkan UU. Selain itu, dalam Sunset Policy tidak ditetapkan kebijakan mengenai pembebasan atas tuntutan pidana pajak.

Pemerintah pun saat itu menyebutkan, bahwa Sunset Policy hanya akan membebaskan wajib pajak terhadap satu dari tiga sanksi administrasi perpajakan, yakni hanya bebas dari sanksi bunga. Sementara sanksi berupa denda dan kenaikan nilai pajak yang dtagih tidak dihapuskan.

Dengan payung hukum Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.03/2008, pemerintah menjalankan Sunset Policy atas denda administrasi berupa bunga hingga 200%. Selain itu, wajib pajak yang ikut serta tidak diberikan Surat Tagihan Pajak.

Sementara, tax amnesty merupakan kebijakan yang memberikan pengampunan atas keringanan pokok pajak, yaitu berkaitan dengan hutang pajak atau pokok pajak yang kurang ataupun belum dibayarkan dengan penerapan tarif yang jauh lebih rendah dari tarif yang berlaku secara umum. Selain itu, dalam tax amnesty ada kebijakan dengan memberikan pembebasan atau penghapusan dari tuntutan pidana pajak.

Meski demikian, kehadiran Sunset Policy ini dapat dipandang sebagai bentuk fasilitas keringanan pajak yang berdampak positif dan berkontribusi signifikan terhadap kinerja perpajakan saat itu.

Mengutip Laporan DJP, hingga Desember 2008 program ini berhasil mendapatkan 3.545.076 wajib pajak baru, serta berhasil mengumpulkan penerimaan PPh sebesar Rp 5,56 triliun. Kemudian, perpanjangan Sunset Policy berhasil menggaet 2.090.052 wajib pajak baru, dan berhasil mengumpulkan penerimaan PPh sebesar Rp 1,9 triliun.

Secara total, program Sunset Policy berhasil mendapatkan jumlah wajib pajak baru sebanyak 5.635.128. Sementara, total penerimaan PPh yang dihimpun melalui program ini mencapai Rp 7,46 triliun.

tax amnesty
tax amnesty (Arief Kamaludin | Katadata)

4. Tax Amnesty Jilid I (2016)

Seperti telah disebutkan, pada 2016-2017 pemerintahan Presiden Joko Widodo menjalankan kebijakan pengampunan pajak. Saat ini, kebijakan yang diambil tersebut dikenal sebagai Tax Amnesty Jilid I.

Kebijakan ini memiliki dasar hukum UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa wajib pajak hanya perlu mengungkap harta dan membayar tebusan pajak sebagai pajak pengampunan atas harta yang selama ini tidak pernah dilaporkan.

Mengutip online-pajak.com, pengampunan pajak dilakukan untuk menarik uang dari para wajib pajak, yang disinyalir menyimpan secara rahasia di negara-negara bebas pajak. Keberadaan uang wajib pajak yang disimpan di luar negeri ini membuat potensi penerimaan negara dari pajak juga hilang.

Oleh karena itu, untuk menarik hati para wajib pajak, pemerintah menerapkan program tax amnesty dengan harapan para wajib pajak yang menyimpan uang di luar negeri dapat mengalihkan simpanannya ke dalam negeri.

Secara perinci, ada tiga tujuan utama Tax Amnesty Jilid I yang hendak diraih. Pertama, meningkatkan likuiditas domestic, penurunan suku bunga dan investasi dan perbaikan nilai tukar rupiah melalui pengalihan harta. Kedua, mempercepat reformasi perpajakan. Ketiga, meningkatkan penerimaan negara dari pajak.

Pelaksanaan Tax Amnesty Jilid I ini dibagi menjadi tiga periode, yakni mulai 28 Juni-30 September 2016. Kemudian, 1 Oktober-31 Desember 2016. Terakhir, 1 Januari-31 Maret 2017

Melalui kebijakan ini, pemerintah memberikan beberapa kemudahan kepada wajib pajak yang ingin mengikuti. Kemudahan-kemudahan yang diberikan adalah berupa tarif pajak yang rendah dan beberapa fasilitas seperti:

  • Penghapusan sanksi administratif,
  • Ditiadakannya pemeriksaan pajak untuk penindakan dengan tujuan pidana,
  • Penghapusan segala pajak-pajak yang terutang.
  • Penghentian pemeriksaan pajak bagi yang sedang diperiksa.
  • Tidak dikenakannya PPh Final untuk pengalihan harta berupa saham, bangunan, atau tanah.

Khusus bagi wajib pajak yang menyimpan hartanya di negara lain, diwajibkan merepatriasi atau menyalurkan hartanya yang selama ini tersimpan di luar untuk diinvestasikan di Indonesia selama tiga tahun.

Investasi tersebut dapat berbentuk obligasi BUMN, investasi keuangan pada bank dalam negeri, obligasi perusahaan-perusahaan dalam negeri, kerjasama dengan pemerintah atau badan usaha sebagai investasi pada pembangunan infrastruktur, obligasi lembaga pembiayaan pemerintah, dan investasi lain yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Hingga berakhirnya waktu pelaksanaannya, Tax Amnesty Jilid I, diikuti oleh 956.793 wajib pajak. Sementara, nilai harta yang diungkap mencapai Rp 4.854,63 triliun.

Meski demikian, pencapaian program repatriasi dalam Tax Amnesty Jilid I jauh dari target, di mana komitmen repatriasi pajak hanya sebesar Rp 147 triliun. Jumlah itu setara dengan 14,7% dari target yang ditetapkan, yakni Rp 1.000 triliun.

Sementara, nilai harta deklarasi dalam negeri sebesar Rp 3.676 triliun. Lalu, nilai harta deklarasi luar negeri sebesar Rp 1.031 triliun. Selanjutnya, negara hanya menerima uang tebusan sebesar Rp 114,02 triliun. Pencapaian ini setara dengan 69% dari target yang ditetapkan, yakni Rp 165 triliun.

5. Tax Amnesty Jilid II (2022)

Tax Amnesty Jilid II dijalankan dengan tujuan untuk mengumpulkan “iuran” dari para wajib pajak yang telah menyimpan kekayaannya secara rahasia di negara-negara bebas pajak. Kebijakan yang disebut Program Pengungkapan Sukarela (PPS) ini, menjadi bagian dari UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Aturan pelaksanaan program ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak. Beleid ini diundangkan per 23 Desember 2021.

Adapun, wajib pajak yang dapat mengikuti Tax Amnesty Jilid II ini adalah wajib pajak yang pernah mengikuti Tax Amnesty Jilid I. Namun, dengan catatan perincian pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang tidak, atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta.

Selain itu, program ini juga dibuka bagi wajib pajak yang berdasarkan pengungkapan hartanya belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh orang pribadi tahun pajak 2020.

Mengutip online-pajak.com, syarat awal keikutsertaan dalam Tax Amnesty Jilid II ini adalah, wajib pajak harus mengungkapkan harta bersih melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada DJP selama masa periode pelaksanaan, yakni 1 Januari-30 Juni 2022.

Harta bersih yang dimaksud, dianggap sebagai tambahan penghasilan yang dikenakan PPh yang sifatnya final. Penghitungannya dilakukan dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.

Tax Amnesty
Tax Amnesty (Arief Kamaludin|KATADATA)

Surat pemberitahuan pengungkapan harta setidaknya dilampiri dengan:

  • Bukti pembayaran PPh Final.
  • Daftar rincian harta beserta informasi kepemilikan harta yang dilaporkan.
  • Daftar utang.
  • Pernyataan pengalihan harta bersih dalam wilayah Indonesia. Dalam hal ini, wajib pajak bermaksud mengalihkan harta bersih yang ada di luar negeri.
  • Pernyataan bahwa akan menginvestasikan harta bersih pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Indonesia, dan/atau SBN.

Setelah itu, DJP akan menerbitkan surat keterangan atas penyampaian surat pemberitahuan pengungkapan harta oleh wajib pajak. Namun, jika berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya ketidaksesuaian antara harta bersih yang diungkapkan dengan kondisi sebenarnya, maka DJP dapat membetulkan atau membatalkan surat keterangan.

Ada dua keuntungan yang didapatkan wajib pajak yang mengikuti Tax Amnesty Jilid II ini. Pertama, tidak akan dikenakan sanksi administratif perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% dari PPh yang tidak atau kurang bayar. Ketentuan sanksi administratif ini diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UU 11/2016 tentang Pengampunan Pajak.

Kedua, wajib pajak juga dibebaskan dari tuntutan pidana. Pasalnya, informasi yang bersumber dari surat pengungkapan harta dan lampirannya tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.

Melalui Tax Amnsesty Jilid II, pemerintah berhasil mengantongi penerimaan pajak sebesar Rp 61,01 triliun. Nominal ini jauh di bawah penerimaan yang didapatkan saat pelaksanaan kebijakan serupa pada 2016, dimana pemerintah saat itu berhasil mendapatkan penerimaan pajak sebesar Rp 134,8 triliun.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...