Kena Sanksi, Garuda Bantah Laporan Keuangannya Tak Sesuai Prosedur

Image title
28 Juni 2019, 13:00
Garuda kena sanksi
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) akan mempelajari lebih lanjut hasil pemeriksaan Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas sanksi-sanksi yang diberikan kepada perusahaan terkait Laporan Keuangan Perusahaan tahun 2018.

Sementara, Kasner dikenakan sanksi karena dianggap belum sepenuhnya mematuhi Standar Audit (SA) - Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). "Yaitu SA 315 Pengidentifikasian dan Penilaian Risiko Kesalahan Penyajian Material Melalui Pemahaman atas Entitas dan Lingkungannya, SA 500 Bukti Audit, dan SA 560 Peristiwa Kemudian," kata Hadiyanto di kantornya, Jakarta, Jumat (28/6). 

(Baca: Sri Mulyani: Ada Kejanggalan pada Laporan Keuangan Garuda Indonesia)

Target GATF Surabaya
Target GATF Surabaya (ANTARA FOTO/Moch Asim)

Laporan Keuangan 2018 Garuda Dinilai Janggal

Kejanggalan laporan keuangan yang diaudit oleh KAP Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang dan Rekan awalnya tercium oleh dua Komisaris Garuda, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria (per 24 April 2019, Dony sudah tidak menjabat sebagai Komisaris Garuda). Mereka menyoroti pencatatan akuntansi pada laporan kinerja keuangan perusahaan tahun buku 2018.

Mereka menilai, seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi tahun berjalan senilai US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun (kurs: Rp 14.100 per dolar AS). Namun, di dalam laporan keuangan 2018 malah tercatat memiliki laba tahun berjalan senilai US$ 5,01 juta setara Rp 70,76 miliar.

Keberatan mereka didasarkan pada perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan yang ditandatangani oleh Citilink dengan Mahata. Menurut mereka pendapatan dari Mahaka yang sebesar US$ 239,94 juta atau Rp 3,38 triliun tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018.

Tidak hanya dua komisaris tersebut saja yang merasa janggal, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan pernah menegaskan memang ada kejanggalan mengenai standar audit laporan keuangan Garuda yang tengah menjadi polemik.

"Sekarang, setelah pertemuan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kami sepakat menetapkan bahwa memang ada kejanggalan pada standar audit keuangan Garuda," ucap dia di kantornya, Jakarta, pada Jumat pekan lalu.

(Baca: Ada Indikasi Penyimpangan Lapkeu Garuda, Kemenkeu Kaji Sanksi Auditor)

Selain itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengakui adanya kejanggalan dalam kontrak antara Citilink dengan Mahata, sehingga mereka menjadikan kontrak tersebut sebagai salah satu pertimbangan dalam mengambil keputusan. Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, dalam kontrak yang diteken pada Oktober 2018 tersebut diatur bagaimana Mahata wajib memenuhi secara pembayaran penuh kepada Garuda.

Adapun Garuda wajib menerima pembayaran atas hak yang diberikan kepada Mahata untuk pemasangan perangkat. "(Tapi) tidak ada hal yang detail diatur (dalam kontrak), once para pihak tidak menjalankan kewajibannya," kata Nyoman di Gedung BEI, Jakarta, pada Rabu lalu.

Nyoman pun mengatakan, jika tidak ada perincian lebih detail mengenai waktu pembayaran, maka bisa saja pembayaran itu dapat dilakukan 15 tahun kemudian. Padahal, nilainya sudah dimasukkan sebagai pendapatan sejak Laporan Keuangan Garuda 2018. "Iya, betul (tidak ada rincian soal pembayaran), itu juga yang sudah kami pertanyakan," katanya.

(Baca: Hasil Audit Dinilai Janggal, Lapkeu 2018 Garuda Perlu Disajikan Ulang)

Berdasarkan dokumen yang didapatkan oleh awak media tertanggal 2 April 2019, kedua komisaris Garuda juga menilai, tidak ada pembayaran yang telah dilakukan oleh Mahata meskipun telah terpasang satu unit alat Wi-Fi di Citilink. Bahkan dalam perjanjian dengan Mahata, tidak tercantum "term of payment" karena pada saat itu masih dinegosiasikan cara pembayarannya.

Selain itu, menurut Chairal dan Dony, sampai saat ini tidak ada jaminan pembayaran yang tidak dapat ditarik kembali (seperti Bank Garansi atau instrumen keuangan yang setara) dari pihak Mahata kepada Garuda Indonesia. Padahal jaminan pembayaran tersebut merupakan instrumen yang menunjukkan kapasitas Mahata sebagai perusahaan yang bankable. Mahata hanya memberikan Surat Pernyataan Komitmen Pembayaran Biaya Kompensasi.

Dalam Perjanjian Mahata juga terdapat pasal pengakhiran yang menyatakan Citilink dapat mengakhiri sewaktu waktu dengan alasan bisnis. Padahal menurut Penyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK) nomor 23, dapat diterimanya pendapatan harus diukur dengan pendapatan tetap atau jaminan yang tidak dapat dikembalikan dalam suatu kontrak yang tidak dapat dibatalkan.

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...