Menakar Arah Kebijakan Pajak Anies, Ganjar dan Prabowo, Siapa Terbaik?
Pasangan ini hanya akan melanjutkan program pembangunan nasional. Kemudian menjanjikan insentif perpajakan pada usaha rintisan digital (start up), insentif pajak untuk Papua, serta pengembangan riset dan inovasi.
Sementara dalam kegiatan kampanyenya, Ganjar berencana menyasar sektor ekonomi biru untuk menaikan penerimaan pajak. Sama dengan pasangan lainnya, Ganjar juga ingin penerimaan pajak dilakukan langsung oleh lembaga di bawah presiden.
Target Rasio Pajak Capres
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar menilai, target rasio pajak sebesar 23% mustahil tercapai dalam lima tahun kepemimpinan. Target rasio pajak pasangan lain justru dinilai lebih realistis dan mampu dicapai.
Pasangan Anies-Cak Imin misalnya, menargetkan rasio pajak 13%-16% pada 2024-2029 jika terpilih. Ganjar Pranowo-Mahfud juga menargetkan rasio pajak yang tak jauh berbeda sebesar 14% hingga 16%.
“Yang dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi,” ujar Fajry.
Selain itu, ia menilai pembentukan Badan Penerimaan Negara tak diperlukan karena dapat menjadi masalah baru. Pemerintah hanya perlu melanjutkan reformasi perpajakan yang tengah berlangsung.
Ia mencontohkan langkah pembangunan core tax system yang telah dilakukan DJP saat ini. Kemudian beberapa ketentuan penting dalam Undang Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) juga masih perlu dilanjutkan, seperti anti-tax avoidance.
“Lalu melanjutkan reformasi birokrasi di tubuh DJP, penguatan SDM. Semua itu lebih penting dibanding membentuk BPN,” ujar Fajry.
Kemudian cara lain yang bisa dilakukan pemerintah dengan melanjutkan reformasi birokrasi dan administrasi. Misalnya, dengan melakukan reformasi regulasi dan mengurangi insentif pajak yang tidak tepat sasaran.
Benahi Korupsi Pajak dan Kebocoran Pendapatan
Senada dengan Fajry, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyoroti pendirian BPN hanya akan memperkecil biaya pengumpulan pajak serta efisiensi pajak, tetapi tidak menyelesaikan masalah korupsi dan kebocoran penerimaan.
"Makanya, pendirian BPN tidak serta merta, langsung dapat menaikkan tax ratio," ujar Nailul.
Justru bagi Nailul, masalah utama pajak adalah potensi korupsi di DJP. Saat ini, penerimaan pajak juga masih didominasi oleh wajib pajak yang sudah tersistem.
"Pajak orang pribadi masih sangat rendah. Maka benahi terlebih dahulu korupsi, kebocoran pendapatan ini sebagai langkah utama reformasi perpajakan," katanya.
Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga setuju. Dia mendorong pembenahan data pajak dari program tax amnesty dan juga program pengungkapan sukarela.
"Hal ini bisa dijadikan sebagai dasar untuk melakukan pengawasan kepada wajib pajak, baik itu dalam bentuk pengawasan pembayaran maupun pengawasan pelaporan," kata Yusuf.
Selain itu, pemerintah bisa ikut dalam pertukaran informasi yang berkaitan dengan pajak atau dikenal dengan AEoI. Tujuannya untuk memeriksa wajib pajak yang ada di luar negeri atau terafiliasi ke luar negeri.
Dia juga tertarik dengan pernyataan Cak Imin mengenai pajak untuk orang kaya jika diimplementasikan dalam program Wealth Tax. Kebijakan ini dinilai bisa menjadi solusi atas masalah penerimaan pajak yang kurang. " Plus redistribusi kekayaan sekaligus, walaupun musuhnya banyak," ujarnya.
Ekonomi RI akan Pengaruhi Penerimaan Pajak 2024
Yusuf menyampaikan, bahwa peningkatan rasio pajak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi secara umum. Meski pertumbuhan ekonomi nasional diproyeksikan masih akan berada di angka 5%, namun berpeluang melambat di kisaran 4,9%.
Sehingga, akan cukup menantang untuk kemudian mendorong rasio pajak meningkat lebih tinggi pada tahun depan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi berada di angka 5%.
"Peningkatan rasio pajak, saya kira akan terjadi secara tipis atau marginal dibandingkan dengan posisi rasio pajak terhadap PDB di akhir tahun 2023," kata Yusuf.