Asal Usul Kenaikan Pajak Hiburan yang Diprotes Inul dan Hotman Paris

Ferrika Lukmana Sari
24 Januari 2024, 13:52
Pajak
ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/nym.
Pengacara sekaligus pengusaha hiburan Hotman Paris Hutapea (keempat kanan) memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Graha Sawala, Gedung Ali Wardhana, Jakarta, Senin (22/1/2024). Menurut Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), pemerintah tidak pernah melibatkan para pelaku usaha atau asosiasi di sektor terkait selama proses penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Misbakhun bahkan menyatakan, bahwa pernyataan itu seakan-akan mau lempar tanggung jawab ke DPR. "Ini usulan siapa? UU datang dari pemerintah, ada permintaan khusus saat itu, koalisi diminta dukung pemerintah," kata Misbakhun.

Apalagi, kata dia, saat itu semangat pemerintah untuk mendorong UU Cipta Kerja dalam meningkatkan investasi. Kemudian UU Omnibus Law disetujui karena kehendak politik dan harus paralel dengan semua kepentingan.

Sementara itu, Menparekraf Sandiaga Uno juga menekankan bahwa asal muasal kenaikan pajak ini merupakan bagian dari UU Cipta Kerja dan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.

"Di sini memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menentukannya," kata Sandiaga di Jakarta, pada Senin (15/1).

Oleh karena itu, Sandiaga meminta agar pemangku kepentingan industri hiburan berdialog untuk menemukan keseimbangan antara keberlangsungan usaha dan hak pemerintah.

Sri Mulyani Hadir Dalam Pengajuan Usulan

Misbakhun mengungkapkan, bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani beserta jajarannya ikut hadir dalam memberi pengantar Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) dan RUU HKPD.

"[Sri Mulyani] hadir pada saat memberikan pengantar awal RUU KUP dan RUU HKPD dengan Komisi XI DPR," kata Misbakhun.

Kemudian pada tahap pembahasan UU HKPD diwakili oleh Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti. Selain itu, turut hadir perwakilan dari PPN/Bappenas dan Kementerian Hukum dan HAM.

"Sebagai lead sektornya di Kemenkeu, dan Astera Prima selalu hadir. Perwakilan-perwakilan pemerintah yang lain juga selalu hadir dalam setiap pembahasan UU HKPD," katanya.

Tak hanya itu, Puteri juga mengungkapkan, bahwa pembahasan UU HKPD juga melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). "Jadi, ini merupakan produk bersama antara DPR RI dan juga pemerintah," ujar Puteri.

Senada dengan Puteri, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana pada kesempatan berbeda menyebut UU HKPD merupakan produk hukum yang dibahas bersama pemerintah dan legislator.

"Artinya, aturan itu masukan dari berbagai pihak, yang salah satu dari narasumbernya mengusulkan alasan dengan bahasa sosial-religi," kata Lydia dalam konferensi pers di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Senin (22/1).

Mempertimbangkan Daerah-daerah yang Religius

Puteri mengungkapkan, salah satu alasan fraksi menetapkan pajak itu karena mempertimbangkan kondisi sosial dan kultur di beberapa daerah yang mengedepankan prinsip religius.

Misalnya saja, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) yang menyebut bahwa pajak hiburan ini berpotensi menimbulkan kontroversi bagi daerah yang mengedepankan nilai religius.

"Tarif asimetris menjadi pendekatan pengenaan pajak ideal bagi daerah yang melonggarkan hiburan maupun daerah yang mengedepankan prinsip sin tax dan prinsip religius," kata Puteri.

Ditambah lagi, hiburan mewah ini juga mestinya dikendalikan. Tentunya, kata dia, tanpa bermaksud untuk mengabaikan kepentingan pelaku usaha. Namun pihaknya tetap mengusulkan agar diatur seperti ketentuan yang lama.

"Namun, karena penetapannya tarif tersebut melalui Perda, sejatinya UU HKPD ini juga memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk menyesuaikan kembali dengan kondisi dunia usaha di wilayahnya," kata dia.

Jika daerah belum pulih akibat Covid-19, maka Pemda bisa memberikan insetif sesuai pasal 101 UU HKPD yang menyebutkan, bahwa dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.

Adapun insentif fiskal tersebut di antaranya berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya. "Sehingga jelas, bahwa kami pun juga memperhatikan kegelisahan dari pelaku usaha, khususnya yang masih belum pulih akibat diterpa pandemi," kata Puteri.

Halaman:
Reporter: Ferrika Lukmana Sari
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...