Dolar AS Dekati Rp 16.000, Ini Dampaknya ke Investasi dan Ekonomi RI
Nilai tukar rupiah terus melemah sejak awal tahun 2024. Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mendekati Rp 16.000 pada awal April 2024. Sejumlah ekonom bahkan mewaspadai dampak pelemahan rupiah akan memincu kekhawatiran terhadap investor, penambahan biaya impor hingga mendorong lonjakan inflasi nasional.
Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet memperkirakan dampak psikologis dari pelemahan rupiah akan signifikan sehingga bisa melemahkan kepercayaan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Kemudian menyebabkan ketidakpastian dan potensi keluarnya arus modal asing dari pasar keuangan Indonesia.
Selain itu, pelemahan rupiah juga dapat meningkatkan risiko investasi bagi investor obligasi karena mereka harus menanggung risiko nilai tukar yang lebih tinggi, yang mungkin membuat mereka enggan untuk berinvestasi lagi di surat utang.
“Kedua, pelemahan rupiah dapat mengakibatkan peningkatan yield obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah dan perusahaan,” ujar Yusuf kepada Katadata.co.id, pada Selasa (2/4).
Bahkan pelemahan rupiah dapat membawa dampak negatif yang signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Salah satunya adalah peningkatan biaya impor karena harga barang impor menjadi lebih mahal, yang berpotensi mendorong inflasi dan menekan daya beli masyarakat.
Tak hanya itu, perusahaan-perusahaan yang memiliki utang luar negeri makin terbebani biaya bunga yang lebih tinggi akibat pelemahan rupiah. Hal ini dapat mengganggu aktivitas bisnis dan pertumbuhan ekonomi.
“Pelemahan Rupiah juga berpotensi menurunkan daya saing ekspor Indonesia karena produk-produk ekspor menjadi lebih mahal di pasar global dan mengurangi permintaan dari luar negeri,” ujarnya.
Faktor-faktor Pelemahan Rupiah
Yusuf memperkirakan kemungkinan rupiah mencapai Rp 16.000 dipengaruhi sejumlah faktor utama. Pertama, ekspektasi terkait langkah bank sentral AS, The Federal Reserve dan data ekonomi Indonesia yang menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tingginya tingkat inflasi.
"Hal ini berpotensi memicu kekhawatiran investor terhadap prospek ekonomi Indonesia, yang kemungkinan mendorong mereka keluar dari pasar keuangan Indonesia,” ujar Yusuf.
Terlebih lagi, beberapa data kunci seperti indikator ekspor dan pertumbuhan ekonomi yang akan dirilis dalam satu bulan ke depan, ekspektasi terhadap hasil data ini dapat mempengaruhi sentimen dan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS.
Risiko Pelebaran Defisit Neraca Transaksi
Kepala Ekonom Bank Permata Joshua Pardede bahkan mengatakan, Indonesia dihadapkan dengan risiko kembalinya twin deficit atau kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.
Hal ini memberi kekhawatiran terkait pembiayaan APBN ke depan sehingga memberikan sentimen negatif pada pasar obligasi Indonesia. Tercatat bahwa kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) terus menurun sejak awal tahun 2024.
Bank-bank sentral utama dunia juga cenderung divergen dalam menentukan arah kebijakan moneter. The Fed misalnya, kembali menegaskan bahwa keputusan suku bunga ke depan akan tetap berdasarkan perkembangan indikator ekonomi terkini.
European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) memberikan sinyal dovish, di mana pemotongan suku bunga acuan kemungkinan besar dapat terjadi lebih cepat pada tahun ini. Hal ini dipicu oleh proses disinflasi yang berlanjut dan kondisi ekonomi kawasan Eropa yang sudah mencatatkan technical recession atau kontraksi ekonomi dalam dua kuartal berurutan.
Sementara Swiss National Bank (SNB) menjadi bank sentral utama dunia yang pertama kali melakukan pemangkasan suku bunga acuan pada tahun ini, sejalan dengan tingkat inflasi yang secara konsisten sudah berada di bawah target sasaran.
Perkembangan kondisi suku bunga global yang cenderung divergen membuat sentimen risk off di pasar negara berkembang kembali meningkat, termasuk di Indonesia. Hal ini terlihat pada pasar obligasi Indonesia yang sudah mencatatkan net outflow secara year to date.
“Banyak investor dan traders cenderung kembali memindahkan portofolionya ke aset-aset yang aman sehingga memicu capital outflow dari pasar keuangan negara berkembang dan mendorong pelemahan mata uang Asia termasuk rupiah,” ujarnya.