Terapkan Perdagangan Karbon, Pemerintah Perlu Hapus Subsidi BBM

Image title
14 Mei 2021, 10:11
perdagangan karbon, subsidi bbm, emisi karbon, energi terbarukan
123RF.com/Elnur Amikishiyev
Perdagangan karbon.

Pemerintah tengah menyiapkan aturan mengenai nilai ekonomi karbon atau perdagangan karbon. Regulasi ini diharapkan menjadi solusi jitu bagi negara dalam mengurangi emisi karbondioksida (CO2) atau gas rumah kaca.

Indonesia pun berpotensi meraih pendapatan tambahan yang cukup besar melalui mekanisme perdagangan karbon, yakni hingga Rp 350 triliun menurut proyeksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Hal ini lantaran Indonesia memiliki lahan gambut dan hutan yang luas sebagai penyerap karbon. Perdagangan karbon merupakan kompensasi yang diberikan oleh negara-negara industri (penghasil karbon) untuk membayar kerusakan lingkungan akibat emisi karbon yang dihasilkan kepada negara pemilik hutan (penyerap karbon).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai implementasi dari mekanisme perdagangan karbon di Indonesia tak mudah dan banyak tantangan. Salah satunya, pemerintah perlu mempertimbangkan menghapus subsidi energi fosil jika ingin aturan ini berjalan dengan baik.

"Dengan diberlakukannya harga karbon tetapi pada saat yang sama pemerintah memberikan subsidi kepada energi fosil, maka kebijakan nilai ekonomi karbon ini menjadi tidak efektif," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (11/5).

Menurut ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, investasi dunia kini lebih memperhatikan keberlangsungan lingkungan melalui energi terbarukan. Jika pemerintah tetap memberikan subsidi bahan bakar fosil, maka masyarakat akan terus menggunakan BBM jenis itu.

Padahal, ada bahan bakar ramah lingkungan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. "Menurut saya fosil fuel tidak bisa disubsidi, karena orang akan terus-menerus menggunakan fossil fuel. Uangnya bisa digunakan kesehatan, dan renewable energy. Misalnya mobil listrik, kalau harganya mahal harus dikasih insentif pajak," ujarnya.

Maka dari itu, Chatib menyarankan kepada pemerintah agar kembali lagi merombak susunan subsidi yang sesuai dengan arah investasi yang dinginkan investor. "Fossil fuel itu harus di tax, kemudian yang renewable dikasih insentif," kata dia.

Pemerintah pun sebenarnya menyadari bahwa subsidi energi, yang lebih dari separuhnya untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), menghambat perkembangan energi terbarukan. Pemerintah memiliki target bauran energi terbarukan sebesar 23% di 2025. Realisasinya sekarang baru 11,3%.

Dalam struktur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) porsinya mencapai sekitar 20% dari alokasi subsidi. Sedangkan penyalurannya banyak yang tidak tepat sasaran. "Kondisi ini menyebabkan EBT sulit bersaing dengan bahan bakar fosil," ucap dia beberapa waktu lalu.

Kementerian ESDM pun melaporkan realisasi subsidi energi pada 2020 mencapai US$ 105,1 miliar, rinciannya US$ 55,4 miliar untuk BBM dan LPG, dan US$ 49,7 miliar untuk listrik. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan subsidi pada 2019 yang sebesar US$ 102,6 miliar.

Pertamina
Pertamina (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Perdagangan Karbon Dorong Energi Terbarukan

Selain itu, guna merumuskan perpres perdagangan karbon, pemerintah disarankan membuka konsultasi publik seluas-luasnya bagi para stakeholder. Selain itu perlu kejelasan dan kajian lebih lanjut mengenai hak atas karbon yang diklaim milik negara.

Pasalnya, bagi sektor energi, harga karbon atau nilai ekonomi karbon dapat mendorong perkembangan energi terbarukan. Esensi dari carbon pricing adalah membuat strategi penurunan emisi karbon secara efektif dan mempercepat transisi energi melalui pengembangan energi terbarukan.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...