Pelemahan Rupiah Berpotensi Memperlebar Defisit APBN 2024

Fauza Syahputra|Katadata
Petugas menunjukkan uang dolar AS dan rupiah di Dewata Inter Money Changer, Jakarta, Jumat (14/6/2024). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup di angka Rp16.412 per dolar AS, melemah 142 poin atau 0,87 persen dari perdagangan sebelumnya sebesar Rp16.270.
19/6/2024, 12.46 WIB

Sejumlah ekonomi khawatir pelemahan rupiah berisiko memperlebar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2024. Karena beban belanja pemerintah berpotensi naik untuk membayar utang hingga biaya subsidi minyak dan gas (migas). 

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah menyentuh Rp 16.367 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu siang (19/6). Rupiah berpotensi melemah karena tertekan sentimen suku bunga Bank Sentral AS dan kondisi geopolitik global.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, pelemahan rupiah akan berdampak terhadap peningkatan belanja negara seperti pembayaran bunga utang, subsidi, dan kompensasi energi, serta Dana Bagi Hasil (DBH) migas akibat perubahan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas.

"Namun demikian, deviasi indikator asumsi nilai tukar rupiah juga akan mempengaruhi sisi pendapatan sehingga dampak neto terhadap APBN cenderung minim," kata Josua kepada Katadata.co.id, Rabu (19/6).

Hal ini berdasarkan asumsi indikator makroekonomi pada APBN 2024. Dia mencontohkan, pelemahan rupiah Rp 100 per dolar AS dapat mendorong peningkatan belanja negara sebesar Rp 10,2 triliun, termasuk untuk tambahan pembayaran bunga utang dan subsidi.

Di saat yang bersamaan, kondisi ini juga mendorong peningkatan penerimaan negara sebesar Rp 4,0 triliun sehingga dampak terhadap tambahan defisit APBN mencapai Rp 6,2 triliun.

Dengan rata-rata nilai tukar rupiah dari awal tahun hingga 14 Juni 2024 berkisar pada posisi Rp 15.859 per dolar AS, maka terdapat kenaikan belanja negara sebesar Rp 53,3 triliun.

"Selain itu, terdapat kenaikan pendapatan negara sebesar Rp 34,4 triliun, yang artinya defisit APBN 2024 berpotensi melebar sekitar Rp 18,9 triliun," ujar Josua.

Bisa Picu Inflasi Tinggi

Tak berbeda dengan Josua, Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana juga melihat risiko pelebaran defisit karena biaya pembayaran utang dan biaya subsidi energi naik.

Dengan pelemahan rupiah ini, biaya impor energi seperti migas akan meningkat. Pemerintah kemungkinan akan menaikkan harga BBM subsidi, LPG dan listrik sehingga bisa memicu inflasi serta penurunan daya beli masyarakat.

"Kekhawatirn inflasi tertinggi mungkin akan berasal dari kenaikan belanja subsidi energi. Terlebih, jika harga minyak dunia mengalami peningkatan," kata Fikri.

Menurut Fikri, harga minyak dunia cenderung melandai dalam satu bulan terakhir. Namun dia melihat kemungkinan ada penyesuaian harga BMM untuk satu hingga dua bulan ke depan.

Seperti diketahui, realisasi defisit APBN 2023 mencapai 1,65% terhadap produk domestik bruto (PDB). Nilai ini lebih rendah dari target APBN 2023 sebesar 2,84% dari PDB, atau pada Perpres 75/2023 sebesar 2,27% terhadap PDB.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari