Pemerintah memiliki dua rencana untuk mendongkrak penerimaan negara pada 2025. Rencana ini berupa kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11% menjadi 12% dan usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membuka kembali program tax amnesty jilid III pada 2025.
Pemerintah perlu mengejar target pendapatan negara di tengah banyaknya program yang sudah disusun Presiden Prabowo Subianto. Dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2025, penerimana pajak ditargetkan mencapai Rp 2.189,3 triliun. Angka ini meningkat 13,9% dari outlook 2024.
“Tahun 2025 targetnya luar biasa. Target ini enggak mungkin dipenuhi secara teknis kalau tarifnya PPN 11%,” kata Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky dalam sesi webinar, Selasa (27/11).
Dalam hitungan yang dilakukan Bright Institute, kenaikan PPN 12% bisa menyumbang penerimaan negara sekitar Rp 75 triliun pada 2025. Meskipun begitu, jumlah tersebut belum cukup untuk memenuhi target pajak pada 2025.
“Di 2024 hingga 2025 ini, kalau tidak ada kenaikan tarif PPN, maka nyaris tidak mungkin tercapai itu target APBN. Jadi untuk memenuhi target APBN 2025, maka PPN naik dan bisa juga ditambah dengan beberapa jenis pelonggaran pajak,” ujar Awalil.
Namun ada sejumlah risiko yang akan dihadapi pemerintah saat menaikan PPN yaitu inflasi dan daya beli masyarakat. Kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022 telah berdampak pada kenaikan inflasi 0,95% dalam satu bulan.
Belum lagi dampak dari sektor produksi karena adanya potensi efek crowding out yang membatasi dana masyarakat dan swasta untuk konsumsi serta investasi. Namun tarif PPN di Indonesia masih lebih rendah dari rata-rata global yang mencapai 15,4%, tapi menjadi yang tertinggi di ASEAN.
Tax Amnesty Bisa Dongkrak Penerimaan Pajak
Tak hanya PPN, usulan tax amnesty atau pengampunan pajak juga tampaknya dikejar pemerintah. Bright Institute memproyeksikan ada potensi penambahan penerimaan Rp 80 triliun jika pemerintah membuka tax amnesty jilid III pada 2025.
Potensi ini dapat mendongkrak penerimaan pajak menjadi Rp 1.246 triliun. “Jadi kalau tax amnesty diterapkan, ada kemungkinan target APBN 2025 terpenuhi,” kata Awalil.
Awalil menilai kenaikan PPN 12% dan pengampunan pajak pada 2025 hampir pasti akan dilakukan untuk mencapai target penerimaan negara.
Meski begitu, tax amnesty sebaiknya tidak hanya fokus pada penerimaan tebusan, tapi juga untuk memperbaiki basis perpajakan.
Dongkrak Pendapatan Negara Secara Instan Tapi tak Adil
Kenaikan PPN hingga usulan tax amnesty memang bisa menambah pendapatan negara. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin melihat dua kebijakan itu bisa mendongkrak pendapatan negara secara instan.
“Dari kenaikan PPN dan tax amnesty jilid III diperkirakan ada tambahan penerimaan Rp 70 triliun dan Rp 60 triliun,” kata Wijayanto.
Wijayanto menilai, angka ini sangat lumayan untuk menambal lubang APBN. Terutama untuk menutup defisit BPJS Kesehatan hingga Rp 20 triliun serta membiayai program makan bergizi gratis Rp 71 triliun dan program Prabowo lainnya.
Meskipun memiliki potensi menambah pemasukan negara, kenaikan PPN bersamaan dengan program pengampunan pajak justru akan memberikan dampak negatif. Hal ini membuat kepercayaan masyarakat terkikis karena adanya ketidakadilan pajak.
“Ini terkesan tidak adil tetapi keadilan bisa dibangun jika pemerintah juga mau melakukan beberapa hal lain,” ujar Wijayanto.
Wijayanto meminta pemerintah agar memastikan penerimaan pajak dapat digunakan untuk membiayai program-program kerakyatan. Hal ini dibarengi dengan penegakan hukum bagi pengemplang pajak.
Selain itu, dia juga mendesak pemerintah agar melakukan penghematan belanja dan proyek yang tidak perlu seperti pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN), penghematan biaya pertemuan dan perjalanan dinas berlebih.