Senjakala Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Batu Bara

Katadata/Joshua Siringo Ringo
Ilustrasi penghapusan PLTU batu bara
Penulis: Sorta Tobing
7/6/2021, 09.00 WIB
  • Pemerintah tidak akan memasukkan proyek PLTU baru dalam RUPTL 2021-2030.
  • Porsi energi terbarukan akan naik, meskipun pembangkit batu bara masih tetap dominan.
  • Harga listrik energi terbarukan yang tinggi menjadi kendala pengembangannya. 

Pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)) baru tidak akan ada lagi dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik atau RUPTL 2021-2030. Langkah ini ditempuh dalam rangka menggenjot pembangkit energi baru terbarukan alias EBT dan mengurangi emisi karbon.

Dengan begitu, pemerintah tak lagi menerima usulan pembangunan pembangkit berbahan bakar batu bara. Hanya PLTU yang sudah mendapat pembiayaan dan tahap konstruksi dapat melanjutkan proyeknya.

Saat ini terdapat 54 pembangkit dalam program 35 ribu megawatt yang belum mendapatkan kontrak. Mayoritas pembangkitnya merupakan PLTU. 

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan PLTU kini sulit mendapatkan pendanaan. Banyak negara dan perbankan global tak lagi mau mengeluarkan uang untuk proyek tinggi emisi. 

Pemerintah akan mengevaluasi apakah rencana pembangunan pembangkit-pembangkit listrik yang belum berkontrak dapat dilanjutkan atau tidak. “Artinya, proyek tersebut kemungkinan tidak akan terlaksana,” katanya dalam konferensi pers virtual pada Jumat lalu (4/6).  

Total kapasitas ke-54 pembangkit itu mencapai 1.563 megawatt (MT). Angkanya terdiri dari 29 unit dalam tahap perencanaan dengan kapasitas 724 megawatt dan 25 unit tahap pengadaan berkapasitas 839 megawatt. Sebagai gantinya, pemerintah akan membangun pembangkit energi terbarukan. 

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana menyebut penghentian proyek PLTU baru akan membuka kesempatan bagi Indonesia untuk mencapai target dekarbonisasi pada 2050.

Apabila PLTU tidak disetop, akan sulit pembangkit EBT masuk. "Dan ini tidak sejalan dengan arah net zero carbon (nol emisi karbon),” kata dia kepada Katadata.co.id, pekan lalu. 

RUPTL baru sedang pemerintah susun bersama PLN. Rida sebelumnya menyebut banyak hal sudah disepakati. “Tapi ada juga yang memerlukan arahan dari pimpinan,” ujarnya.  

Arahan untuk tak lagi menambah proyek baru PLTU datang langsung dari Presiden Joko Widodo. "Pak Presiden sudah memerintahkan untuk dibuat roadmap bagaimana mengurangi PLTU-PLTU yang didukung batu bara,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Dirinya dan Menteri ESDM Arifin Tasrif sedang menjalankan instruksi tersebut. “Jadi, memang masalah utamanya ada di batu bara. Teknologinya jelek dan dukungan finansialnya pun tidak bagus,” ucap Siti. 

Sektor kehutanan, menurut dia, sudah siap mencapai nol emisi karbon di 2030. Masalahnya sekarang di sektor energi. Pembuangan gas rumah kaca atau karbon dioksida dari pembangkit energi fosil sangat tinggi.

Di sisi lain, konsumsi listrik rakyat masih relatif kecil. Sebagai perbandingan, konsumsi listrik negara sejahtera berada di atas 3.500 sampai 5.400 kilowatt hour (kWh). “Sedangkan rata-rata konsumsi listrik Indonesia baru 1.100 kWh, paling tinggi 1.300 kWh. Jadi, kami masih kerja keras,” kata Siti. 

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. (Arief Kamaludin|KATADATA)

PLTU Masih Dominan?

Dalam draf RUPTL 2021-2030 yang Katadata.co.id terima pada Maret lalu tertulis, pengembangan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan terus didorong untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik. Hal tersebut juga sejalan dengan upaya menurunkan tingkat emisi karbon dioksida (CO2).

Indonesia, sesuai Perjanjian Paris 2015, berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kacanya sebesar 29% pada 2030 dengan upaya sendiri. Angkanya naik menjadi 41% apabila mendapat dukungan internasional. 

Beberapa PLTU yang statusnya masih rencana setelah 2025, dalam RUPTL tersebut akan diganti menjadi PLTBase. Pembangkitnya akan menggunakan campuran energi terbarukan dan gas. Dengan begitu nilai keekonomiannya tetap dapat bersaing dengan PLTU.

Syarat PLTBase itu adalah dapat beroperasi selama 24 jam sebagai pemikul beban dasar dan dapat dilengkapi sistem penyimpanan energi. Lalu, keberadaannya tidak berdampak pada peningkatan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. 

Namun, PLTU masih akan mendominasi jenis pembangkit. Kapasitasnya mencapai 15,9 gigawatt (GW) atau 39,1% dari kapasitas total. Lalu, pembangkit energi terbarukan terbesar bertenaga air alias PLTA sebesar 8,9 gigawatt atau 22% dari kapasitas total.

Kemudian, pembangkit panas bumi atau PLTP 3,5 gigawatt atau 8,5% dari kapasitas total. EBT lainnya mencapai 3,7 gigawatt atau 9% dari kapasitas totol. Termasuk di dalamnya adalah pembangkit surya (PLTS), angin (PLTB), sampah (PLTSa), biogas (PLTBg), hibrid (PLTH), biomassa (PLTBm), dan tenaga arus laut (PLTAL). 

Untuk PLTBase totalnya sampai 2030 adalah 1.110 megawatt. Angka ini setara dengan 2,7% dari kapasitas total.

Dari draf RUPTL itu juga tertulis beberapa PLTU yang tampaknya akan dihapus dari rencana. Misalnya, PLTU Jawa 5 yang berlokasi di Banten. Pembangkit berkapasitas seribu megawatt itu disebut “ditunda karena menyesuaikan dengan kebutuhan sistem”.

PLTU Jawa 5 memang sejak 2017 tidak jelas nasibnya. Tendernya dibatalkan pada tahun sebelumnya. PLN enggan menggarapnya karena khawatir pasokan listriknya tidak terserap. Apabila hal itu terjadi, perusahaan setrum negara tersebut harus membayar denda take or pay dari produsen listrik swasta atau IPP.

Pada RUPTL 2018-2027 PLTU Jawa 5 tidak masuk dalam rencana. Namun, namanya muncul pada RUPTL 2019-208. Target penyelesaian pembangkitnya pada 2023.

Beberapa PLTU lainnya dalam draf RUPTL 2021-2030 tertulis menyesuaikan kebutuhan sistem. Pembangkit ini adalah PLTU Sumut-2, PLTU Mulut Tambang Riau-1, PLTU Mulut Tambang Sumsel, dan PLTU Mulut Tambang Sumsel-6.

Lalu, ada PLTU yang diganti dengan pemanfaatan EBT lain, yaitu PLTU Kalselteng 4, PLTU Kaltim 3, dan PLTU Kaltim 5. Ada pula pembangkit tenaga batu bara yang tertulis dimundurkan menyesuaikan kebutuhan sistem. Pembangkit tersebut adalah PLTU Sulbagut 2, PLTU Tolitoli, dan PLTU Jayapura 3.

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)

Kendala Pembangkit Energi Terbarukan

Dalam sepuluh tahun ke depan pemerintah menargetkan penambahan pembangkit listrik mencapai 41 gigawatt atau 41 ribu megawatt. Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyebut komposisi pembangkit fosil dan energi terbarukan dalam RUPTL 2021-2030 adalah 52% berbanding 48%.

Penambahan pembangkit EBT akan mencapai 16,1 gigawatt atau mendekati 40%. “Terdiri dari PLTA, PLTP, dan EBT lainnya,” katanya. 

PLN juga merancang program penghentian pengoperasian PLTU sepanjang 2025-2055. Bersama pemerintah, skema phasing out alias pensiun secara bertahap ini masih dalam tahap diskusi. 

Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Syahrin mengatakan, aset PLTU yang habis umur pakainya akan dirobohkan setelah perjanjian jual-beli listriknya (PPA) dengan IPP selesai.

Lokasi bekas PLTU tersebut akan dibangun pembangkit energi terbarukan. “Kami sangat mendukung green energy. Dalam peta jalan PLN, pada 2060 kami sudah carbon neutral,” ujarnya. 

Para produsen listrik swasta mendukung langkah perusahaan setrum negara. Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan upaya transisi energi ini perlu didukung perencanaan matang. “Dan kepastian hukum bagi dunia usaha agar iklim investasi stabil,” katanya kepada Katadata.co.id.

Anggota APLSI banyak yang telah masuk ke proyek berbasis EBT. Kapasitasnya masih relatif kecil tapi sedang dalam tahap persiapan atau konstruksi. 

Kendala pembangunannya selama ini adalah soal harga listriknya yang masih tinggi. “Dari segi tender dan perizinan perlu dukungan pemerintah dan PLN agar pembangunan EBT tidak terkendala,” ucap Arthur. Payung hukum yang jelas dapat meningkatkan Investasi ke depan.

Secara potensi, Indonesia memiliki banyak energi terbarukan. Namun, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, kendala lokasi dan kondisi kelistrikan tiap daerah sangat berbeda.

Misalnya, PLTP dapat dibangun di Flores, Nusa Tenggara Timur, dengan potensi seribu gigawatt. “Tapi pertumbuhan permintaan listrik di sana sangat rendah apabila dibangun semua,” katanya. Begitu pula dengan PLTA skala besar yang dapat dibangun di Kalimantan Utara tapi tak seiring dengan konsumsi listriknya. 

Masalah lainnya yaitu proyek energi terbarukan yang bankable sedikit. Perencanaan yang tidak jelas membuat pembiayaannya tidak kompetitif.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan pun berpendapat harga jual listrik EBT yang masih mahal dibandingkan PLTU menjadi kendala. Pemerintah perlu memberi insentif agar listriknya dapat lebih murah dan menarik untuk investasi.

Riset terkait pengembangan energi terbarukan juga harus diperbanyak. “Dengan begitu ada inovasi di masa depan untuk membuat listrik dari pembangkit ini lebih murah lagi,” kata Mamit.

Penyumbang bahan: Muhamad Fikri (magang)

Reporter: Verda Nano Setiawan